Cho Su Kong adalah seorang bhiksu Buddha Mahayana yang berasal dari Anxi
Deifikasi atau proses pendewaan adalah praktik biasa dalam agama rakyat di Tiongkok. Salah satunya adalah Cho Su Kong yang disebut Dewa dari Cadas Air Jernih. Semasa hidupnya Cho Su Kong adalah seorang bhiksu aliran Mahayana berasal dari Anxi.

Di kalangan Hokkien dan diaspora Tionghoa di Asia Tenggara, nama Cho Su Kong atau Qingshui Zushi begitu akrab. Patungnya berwajah gelap, duduk tegak dalam jubah bhiksu Mahayana. Wajah gelapnya memancarkan wibawa sekaligus welas asih. Namun di balik segala penghormatan oleh komunitas Tionghoa, hanya sebagian orang yang paham bahwa beliau sejatinya adalah seorang bhiksu Buddhis dari aliran Chan atau di Jepang disebut Zen. Sumber-sumber dari Fujian dan Taiwan menyebut nama awamnya adalah Chen Zhaoying (陳昭應), dan memiliki nama dharma Puzu (普足).

Bhiksu Cho Su Kong lahir pada tahun 1047 di wilayah Anxi–Yongchun, Quanzhou, Fujian, pada masa Dinasti Song Utara. Sejak kecil, ia menunjukkan bakat luar biasa dalam mempelajari kitab suci Buddhis dan mempraktikkan sila. Pada usia muda ia ditahbiskan di Dayun Yuan (大雲院), lalu berguru kepada seorang bhiksu Chan master bergelar Dajing Shanming—gelar yang berarti Mahaguru Chan Shanming dari Gunung/Biara Dajing. Dari sinilah muncul istilah “Da Jing Shan” yang kerap dikaitkan dengan beliau. Bukan berarti Gunung Da Jing, tapi gunung tempat berdirinya vihara dari Bhiksu Dajing Shanming.

Setelah bertahun-tahun berguru, ia menyepi di Gunung Mazhang, lalu berpindah ke Gunung Zhangyan. Di sana terdapat mata air yang jernih dan tak pernah kering. Pada tahun 1083, ia memberi nama baru bagi tempat itu: Qingshui Yan—Harafiah, Tebing atau Cadas Air Jernih. Ia mendirikan biara di lokasi itu, mengajar para siswa, dan menjadi tumpuan harapan masyarakat. Berdasarkan kisah turun temurun, dituturkan bagaimana bhiksu ini dapat mendatangankan hujan saat kemarau panjang. Sang bhiksu juga menjadi tempat dimana masyarakat yang sakit mencari kesembuhan. Baik sakit fisik maupun non fisik. Selain itu ia juga selalu membantu rakyat kecil di masa-masa sulit.

Dari Fujian ke Asia Tenggara

Setelah wafat pada 1101, nama Qingshui Zushi dikenang sebagai seorang patriark atau 祖師 (zushi) dalam bahasa mandarin. Dalam konteks Buddhisme Tionghoa, istilah ini secara harfiah berarti guru leluhur. Suatu gelar kehormatan untuk tokoh yang mengajarkan dan menegakkan ajaran (Dharma) di suatu tempat atau aliran. Serta menjadi teladan moral dan spiritual sehingga generasi setelahnya menghormatinya sebagai pendiri keluarga besar spiritual.

Pada kasus Qingshui Zushi (Cho Su Kong), gelar zushi berarti ia diakui sebagai pendiri atau pelindung suatu aliran/devosi tertentu dalam Buddhisme Chan di Fujian. Itu sebabnya, meski kini banyak kuilnya bercampur dengan tradisi rakyat, inti sejarahnya tetap: ia adalah patriark Buddhis, seorang bhiksu yang dihormati karena kebajikan dan jasa-jasanya.

Ikonografinya pun khas—wajah hitam, sorot mata tegas, dan jubah bhiksu Mahayana yang sederhana—menjadi simbol kebajikan dan keteguhan. Di Fujian, terutama Anxi dan Yongchun, kultusnya tumbuh subur.

Seiring arus migrasi orang-orang Tionghoa, khususnya Hokkien, penghormatan kepada Qingshui Zushi tersebar ke Taiwan, kemudian juga sampai ke Asia Tenggara. Di Taiwan, setiap tanggal 6 bulan pertama kalender lunar diperingati sebagai hari ulang tahunnya, lengkap dengan prosesi dan persembahan di zushi miao. Di Malaysia, beliau dikenal dengan sebutan Cho Su Kong atau Chor Soo Kong, dengan cerita-cerita yang menekankan perannya sebagai bhiksu penyembuh dan pembawa hujan. Di Penang, kuil yang didedikasikan untuknya bahkan dikenal dunia sebagai Snake Temple, karena legenda ular-ular yang jinak di sana—walau identitas beliau sebagai bhiksu Buddhis tetap menjadi inti kisah.

Warisan Sang “Air Jernih”

Penghormatan kepada Qingshui Zushi tidak pernah sekadar pemujaan simbol. Ia adalah cermin sejarah hidup seorang bhiksu yang mengabdikan diri pada Dharma dan kemanusiaan. Dari Anxi hingga kawasan Asia Tenggara, figur Cho Su Kong tetap dihormati hingga kini. Salah satu tempat yang didirikan untuknya di Indonesia adalah Rong Jia Yi Da Bo Gong Miao. Rong Jia Yi adalah transliterasi dari Tanjung Kait. Sedangkan Da Bo Gong berarti “Paman Tertua atau Kakek Agung”. Dalam konteks ini mengacu pada Cho Su Kong sebagai dewata utama di kuil yang terletak di Tanjung Kait ini. Maka tak heran jika tempat yang akrab disebut Kelenteng Tanjung Kait ini, terkenal dengan ciamsi obatnya. Sesuai dengan kepakaran sang patriak dari Anxi di masa hidupnya.@eddy setiawan

Sumber: https://substack.com/@madingring

LEAVE A REPLY