Di Indonesia orang terbiasa menyebut bangunan rumah ibadah berciri khas Tiongkok sebagai Klenteng. Suatu istilah serapan yang terbentuk dari proses pengucapan Kwan Im Teng (Tempat Memuja Kwan Im atau Bodhisattva Avalokitesvara) dalam lidah Indonesia. Pemujaan terhadap Bodhisatva Avalokitesvara atau Kwan Im Pu Sa adalah bagian dari praktik religi agama Buddha Tionghoa (Chinese Buddhism) yang merupakan bentuk akulturasi agama Buddha dengan kepercayaan tradisi masyarakat Tiongkok sejak abad pertama masehi.
Arsitektur, ragam hias, dan ikonografi Tiongkok adalah ciri khas dari wihara Chinese Buddhism, seperti Naga, Sepasang Singa Penjaga, Cakra, Bunga Teratai, Swastika, Ikan, Mutiara, Pagoda, dan lain sebagainya. Kwan Im Teng di negara lain seperti Malaysia, Singapura, dan lain-lain yang dibangun sejaman dengan Kwan Im Teng-Kwan Im Teng tertua di Indonesia (seperti Kwan Im Teng/Jin De yuan/Petak Sembilan di Glodok, Kwan Im Teng/Vihara Avalokitesvara di Banten, Kwan Im Teng/Vihara Dewi Welas Asih di Cirebon dan lain-lain, hingga saat ini masih di sebut Kwan Im Teng.
Sementara di Indonesia menggunakan istilah serapan Klenteng. Istilah lain yang digunakan adalah Konco, dan Topekong. R. A Kartini dalam salah satu suratnya menuliskan bahwa saat remaja ia pernah sakit dan tidak bisa disembuhkan oleh para dokter, kemudian mengikuti saran seorang Tionghoa ia berobat ke Topekong Hian Thian Sang Te (sekarang lebih dikenal dengan istilah Klenteng Welahan). Kartini diminta meminum air yang telah ditaburi abu sisa pembakaran dupa di altar dan ternyata sembuh. Kartini dalam suratnya tersebut menyebut bahwa ia adalah anak Buddha, dan kemudian mulai bervegetarian sejak saat itu.
Kwan Im Teng/JIn De Yuan/Wihara Dharma Bhakti di Glodok menyimpan prasasti nama-nama bhiksu yang pernah menempati wihara tersebut yang berdiri tahun 1650, namun karena kondisi sosial politik yang tidak kondusif sejak terbitnya PP 10 Tahun 1959 hingga meletusnya peristiwa 1965, para bhiksu ini akhirnya meninggalkan Indonesia dan mengungsi ke Tiongkok. Kwan Im Teng/Wihara Dewi Welas Asih di Cirebon juga menyimpan prasasti yang mencatat penyebaran agama Buddha di Cirebon dan sekitarnya pada tahun 1800an.
Apa karakteristik Chinese Buddhism? Tak Kenal Henti, sering dilambangkan dengan simbol infinity knot (simpul tak terputus). Itulah kenapa agama Buddha yang dibawa dari India oleh para bhiksu dan pedagang akhirnya bisa dianggap agama asli Tiongkok oleh orang sono. Saat nenek moyang Tionghoa datang ke Nusantara, bentuk Buddhisme inilah yang dibawa. Segera mereka mendirikan tempat untuk memuja Kwan Im Po Sat atau Bodhisatva Avalokitesvara. Kwan Im Teng/Tang adalah nama-nama tempat ibadah tertua yang ada di Asia Tenggara.
Kenapa Kwan Im? Catatan tertua tentang Nusantara dari Bhiksu Fa Hien tampaknya bisa menjawab hal ini. Fa Hien yang datang ke Jawa tahun 400 mencatat betapa ganas dan lamanya pelayaran dari Tiongkok ke Jawa. Para pengelana ini umumnya membawa pratima Kwan Im, entah gambar ataupun arca. Bhiksu pengelana ini mencatat bahwa ia pun membawa pratima Kwan Im, dan ketika terjebak badai dasyat ia membaca Ta Pei Cou atau Maha Karuna Dharani dalam bahasa Sansekertanya.
Jadi inilah sebabnya kebanyakan tempat ibadah tertua yang ada di Asia Tenggara adalah Kwan Im Teng. Huruf terakhir menunjukkan keterangan tempat yakni Tang/Teng/Tong. Atau kemudian Yuan, Sie, Bio, Kiong, Ma. Jin De Yuan, salah satu yang tertua di Nusantara, dulu juga bernama Kwan Im Teng yang dibangun sejaman dengan Kwan Im Teng di Singapura dan Malaysia yakni antara 1600-1700.
Pembangunan Kwan Im Teng di Batavia mendapat tantangan luar biasa dari Dewan Gereja Batavia yang menentang keras pembangunan tempat ibadah agama Buddha yang dianggap memuja iblis dari kacamata mereka. Beruntunglah perekonomian orang-orang Tionghoa kemudian membaik berkat berkembangnya perkebunan tebu, industri gula dan arak Batavia yang sangat dikenal para pelaut dari berbagai negara. Jadi ingat bahwa sampai sekarang Pemprov DKI Jakarta masih punya saham banyak di perusahaan bir. (Ha ha ha).
Peningkatan perekonomian itu pada gilirannya memiliki andil dalam upaya membangun tempat ibadah. Sebuah tempat ibadah sebenarnya sempat dibangun di sisi luar tembok kota, namun akhirnya dibongkar, karena keberatan Dewan Gereja Batavia yang tak segan-segan bersurat langsung ke pusat kerajaan di Netherland. Maka awalnya masyarakat Tionghoa membangun rumah sakit untuk orang miskin (sekarang RS Husada Mangga Besar, belakangan juga bangun yang sekarang namanya RS Budi Kemuliaan di sebelah BI).
Setelah perjuangan panjang, baru menjelang 1650 ijin mendirikan Kwan Im Teng Batavia di daerah Glodok diperoleh. Kwan Im Teng lain juga telah berdiri sebelumnya di areal benteng Kerajaan Banten pada masa yang sama, yang sekarang bernama Vihara Avalokitesvara Banten.
Selain itu juga terdapat Kwan Im Teng di wilayah Kerajaan Cirebon yang dibangun tahun 1559. Dalam monografnya Claudine menerjemahkan prasasti yang ada di Wihara Dewi Welas Asih (nama Kwan Im Teng Cirebon saat ini) bahwa Kwan Im Teng ini adalah pusat penyebaran agama Buddha di Jawa Barat. Kwan Im Teng Batavia hancur pasca kerusuhan Tionghoa 1740, dan dibangun kembali dengan nama Jin De Yuan atau dalam dialek Hokkien disebut Kim Tek Ie, kelak menyesuaikan nama akibat kebijakan Orba menjadi Wihara Dharma Bhakti.
Istilah Kwan Im Teng inilah yang keberadaanya demikian tua dan mengakar di masyarakat yang mengalami penyesuaian fonetik sesuai lidah masyarakat setempat menjadi klenteng. Sebagaimana proses lidah masyarakat lokal melahirkan nama yan tidak ada maknanya dalam bahasa mandarin tapi sudah melekat sehingga tetap dipakai sebagai nama jalan, wihara bahkan gereja yaitu Toasebio. Dewa utama di Toasebio adalah Cheng Goan Cheng Kun yang kemmudian diidentikkan dengan dewa yang banyak dipuja Tionghoa asal Fujian Selatan yakni Dazhi, maka kemungkinan mereka menyebut tempat memujanya Dazhi Bio atau Dazhi Miao, dan warga lokal kemudian melafalkannya menjadi Toasebio.
Proses lain terjadi di Bali, karena tempat ibadah Chinese Buddhism tertua disana terkait dengan pembangunan Taman Ayun. Tokoh yang kemudian dipuja sebagai dewa adalah Chen Fu Zheng Ren atau Tan Cin Jin (Hokkien), asal Tiongkok yang sangat dihormati warga Tionghoa Banyuwangi, Bali hingga Lombok. Ia datang ke Kerajaan Blambangan dari Batavia saat Kerajaan Mengwi menguasai Blambangan. Keberhasilannya membangun istana di Blambangan menyebabkan ia diminta membuat istana di Mengwi Bali. Singkat cerita ia akhirnya difitnah, dan diburu untuk dibunuh. Tetapi 2 orang ksatria yang diutus untuk membunuhnya justru akhirnya bertekad menjadi abdi beliau. Makanya arca pengawal di altar beliau tampak berpakaian adat Bali di Banyuwangi.
Leluhur laki-laki Tionghoa disebut Kongco, inilah yang kemudian diserap menjadi Konco, untuk menyebut tempat ibadahnya. Jadi di Bali dan Lombok istilah klenteng tidak sepopuler di Jawa, lebih familiar istilah konco. Penyebutannya bukan kanca (konco atau teman dalam bahasa Jawa) tapi o yang depan dibaca agak seperti u, co nya.mirip ucapan “taoco” Rasanya cuma lidah Bali dan Lombok yang bisa :).
Informasi tambahan bagi yang pernah sembahyang atau main ke Sam Poo Kong (Klenteng Gedong Batu Semarang), apakah tahu artinya?
Kong itu menunjukkan “tempat” sama seperti Bio, Kiong, Sie, Yuan, Teng, Tang, Miao dll yang dalam bahasa Indonesia semua secara sederhana diterjemahkan kuil atau wihara. Sam (tiga) Poo (permata/ratana/ratna-sanskrit/pali) Kong (wihara) jadi dapat diterjemahkan: Wihara Tri Ratna (Wihara Tiga Permata): Buddha, Dharma, dan Sangha.
Jadi setelah anda memahami panjang lebar riwayat klenteng di atas, jangan rancu dengan rumah ibadah Konghucu yang secara khas disebut Li thang/Lidang. Ciri khas paling utama yang membedakan Li thang dengan Klenteng adalah, di Li thang semestinya tidak ada arca2 dewa dan bodhisattva ataupun buddha, yang dipuja dan di hormati hanya guru/nabi Kong Hu Cu. Sedangkan Klenteng (Chinese Buddhism) yang biasanya di Indonesia dibawah pembinaan Majelis Tri Dharma pada altarnya terdapat aneka macam patung buddha, bodhisattva dan dewa-dewa (termasuk dewa-dewa yang dihormati penganut Taoisme). Pengertian ini penting juga untuk membedakan Kwan im teng (klenteng) dengan Li thang/Lidang.
__________________________
Oleh: Eddy Setiawan (Peneliti IN)