Dalam satu dekade terakhir, kita menyaksikan kebangkitan diplomasi keagamaan di Asia yang semakin terang-terangan menampilkan diri di panggung geopolitik. Di baliknya, terdapat dinamika yang menarik: Tiongkok dan India—dua negeri yang sama-sama memiliki hubungan panjang dengan Buddhisme—kini terlibat dalam apa yang oleh Jack Meng-Tat Chia disebut sebagai “perebutan hati dan pikiran Buddhis dunia.”
Chia, seorang sejarawan agama dari National University of Singapore, melalui artikelnya di Asia Times, 25 Agustus 2025, mengurai bagaimana dua kekuatan besar Asia ini berlomba memanfaatkan simbol, situs suci, dan relik Sang Buddha sebagai bagian dari kekuatan lunak (soft power) diplomasi modern. Di tengah dunia yang kian rapuh oleh perang dagang dan retaknya aliansi politik, Buddhisme—yang sejatinya berakar pada welas asih dan kesadaran batin—tampak berubah menjadi medium politik luar negeri yang penuh kalkulasi.
Relik, Diplomasi, dan Panggung Spiritualitas
India, di bawah pemerintahan Narendra Modi, menegaskan dirinya sebagai “tanah kelahiran Sang Buddha.” Relik-relik suci Sang Buddha dipinjamkan ke berbagai negara Asia Tenggara seperti Thailand dan Vietnam, bukan hanya sebagai upaya penghormatan spiritual, melainkan juga untuk meneguhkan posisi India sebagai pusat ziarah dunia Buddhis. Praktik ini, menurut Chia, menunjukkan pola baru di mana kesakralan diolah menjadi strategi kebudayaan negara.
Tiongkok tidak tinggal diam. Beijing justru mengembangkan pendekatan yang lebih sistematis dengan menenun Buddhisme ke dalam kebijakan besar seperti Belt and Road Initiative. Relik gigi Sang Buddha dari Kuil Lingguang di Beijing, misalnya, dikirim ke Thailand dalam upacara penuh simbol politik dan disiarkan secara luas oleh media. Bahkan, pemerintah Tiongkok berupaya menegaskan otoritasnya atas Buddhisme Tibet dengan mengklaim hak menentukan reinkarnasi Dalai Lama berikutnya—sebuah tindakan yang, bagi Chia, sarat makna geopolitik.
Selain itu, Tiongkok juga memperkenalkan gagasan “Buddhisme Laut Tiongkok Selatan,” suatu narasi budaya yang memadukan warisan spiritual dengan klaim kedaulatan maritim. Melalui gagasan ini, Buddhisme diproyeksikan sebagai wajah peradaban Tiongkok yang damai, tetapi juga berfungsi sebagai legitimasi simbolik atas pengaruhnya di kawasan.
Diplomasi Buddhis: Tradisi Lama yang Berubah Fungsi
Chia mengingatkan bahwa diplomasi Buddhis bukanlah fenomena baru. Sejak masa Asoka hingga Sriwijaya, para raja di Asia telah menggunakan relik dan ajaran Sang Buddha untuk mempererat hubungan antarwilayah dan meneguhkan legitimasi kekuasaan. Namun dalam konteks modern, kebangkitan praktik ini membawa nuansa berbeda—lebih diplomatik, lebih strategis, dan terkadang, lebih politis daripada spiritual.
Di Asia kontemporer, negara-negara melihat Buddhisme bukan hanya sebagai agama, melainkan juga sebagai aset budaya yang bisa menggerakkan simpati internasional. Namun di sisi lain, “penggunaan” agama semacam ini berisiko mengaburkan makna spiritualnya. Relik, situs suci, dan ritual ziarah dapat dengan mudah berubah menjadi instrumen politik, bahkan menjadi simbol rivalitas kekuasaan.
Jembatan Kecil dari Singapura
Dalam lanskap kompetisi dua raksasa ini, Chia menyoroti peran menarik negara kecil seperti Singapura yang sering menjadi jembatan tenang di tengah riuhnya diplomasi Buddhis. Jauh sebelum hubungan diplomatik resmi antara Singapura dan Tiongkok terbentuk, hubungan antartokoh Buddhis sudah terjalin erat. Antara tahun 1982 dan 1990, Yang Mulia Hong Choon dari Federasi Buddhis Singapura melakukan serangkaian kunjungan ke Tiongkok dan bertemu dengan para pemimpin agama maupun politik. Dalam pandangan Chia, langkah-langkah semacam ini menunjukkan bahwa hubungan keagamaan dapat menjadi fondasi diplomasi lintas batas yang lebih damai, bahkan mendahului hubungan politik formal.
Pameran “Rahasia Pagoda yang Runtuh” di Museum Peradaban Asia (2014), yang menampilkan artefak dari Kuil Famen di Shaanxi, menjadi contoh nyata bagaimana Buddhisme berperan sebagai jembatan kultural. Dalam konteks ini, diplomasi Buddhis tampil bukan sebagai perebutan pengaruh, melainkan sebagai ruang dialog dan saling pengertian.
Pedang Bermata Dua
Namun, Chia mengingatkan bahwa diplomasi agama adalah pedang bermata dua. Ketika simbol-simbol Buddhis dijadikan alat propaganda, ia kehilangan kesakralannya. Kegiatan ziarah atau pameran relik bisa menimbulkan reaksi negatif jika dilihat sebagai strategi politik yang terselubung. Rivalitas antara India dan Tiongkok, meski terbungkus dalam citra “kedamaian”, sebenarnya mencerminkan ketegangan lama yang kini bergeser dari batas wilayah ke ranah spiritual.
Dalam konteks ini, Chia mengajukan pertanyaan penting: dapatkah diplomasi Buddhis benar-benar menjadi kekuatan untuk perdamaian, ataukah ia justru memperdalam jurang rivalitas? Jawabannya bergantung pada cara negara-negara di Asia memaknai agama—sebagai sumber kebijaksanaan, atau sekadar instrumen kekuasaan.
Menemukan Jalan Tengah
Sebagai penutup, Chia menekankan pentingnya melibatkan komunitas keagamaan dan lembaga lokal dalam diplomasi semacam ini. Hanya dengan pendekatan yang partisipatif dan jujur, nilai-nilai Buddhis seperti kasih sayang dan pengendalian diri dapat benar-benar menjadi dasar bagi hubungan internasional yang lebih manusiawi. Diplomasi Buddhis, jika dilakukan dengan kesadaran etis, dapat menjadi model baru hubungan antarbangsa—berbasis welas asih, bukan dominasi; berbasis dialog, bukan propaganda. Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, visi seperti ini tidak hanya relevan, tetapi juga sangat dibutuhkan.@eddy setiawan
Referensi:
Jack Meng-Tat Chia, 2025, “Hard Rivalry for Buddhism’s Soft Power: China and India Locked in a Not-so-Holy Geopolitical Competition for Buddhism’s Diplomatic High Ground”, Asia Times, 25 Agustus, diakses 03 November 2025, https://asiatimes.com/2025/08/hard-rivalry-for-buddhisms-soft-power/.
Jack Meng-Tat Chia adalah Foo Hai Fellow dalam Kajian Buddhis dan Profesor Sejarah Madya di National University of Singapore (NUS). Ia juga editor buku Figures of Buddhist Diplomacy in Modern Asia, yang didukung oleh Social Science and Humanities Research Fellowship, Social Science Research Council (Singapore).











