Di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang serba cepat, seorang bhiksuni Korea Selatan membuktikan bahwa Dharma dapat disampaikan bukan hanya melalui khotbah atau kitab suci, tetapi juga lewat sesuatu yang sangat manusiawi: makanan. Bhiksuni Jeong Kwan, tinggal di Wihara Baekyangsa. Sekira 270 kilometer dari ibukota Korea Selatan, Seoul.
Jeong Kwan adalah seorang biksuni Buddha Mahayana, yang telah memperkenalkan masakan vegetarian ala vihara ke seluruh dunia. Adalah serial Netflix berjudul Chef’s Table yang dirilis sekira 9 tahun lalu membuatnya dikenal dunia. Diikuti berziarahnya para pecinta kuliner dari berbagai penjuru dunia ke Baekyangsa, untuk bertemu dan belajar dari bhiksuni yang telah menghabiskan 17 tahun masa hidupnya di wihara itu.
Meski serial tersebut membuatnya terkenal, ia tetap membumi dan terhubung dengan akar spiritualnya. Hal ini bisa dipandang sebagai bentuk upaya kausalya— usaha terampil penuh welas asih bodhisatwa—untuk memperkenalkan dharma dan membebaskan semua makhluk.
Bagi umat Buddha di Indonesia, kisah Bhiksuni Jeong Kwan bisa menjadi inspirasi mendalam bahwa menyebarkan Dharma tidak selalu harus melalui cara-cara formal. Dalam tradisi Mahayana, upaya kausalya adalah inti dari praktik Bodhisattva: menggunakan metode yang paling sesuai dengan kondisi, latar belakang, dan kebutuhan makhluk demi membimbing mereka pada kebijaksanaan dan belas kasih. Jeong Kwan melakukannya dengan memasak—bukan sekadar memasak, tetapi memasak sebagai meditasi, sebagai doa, dan sebagai bentuk pelayanan.
Ia mengatakan, “Bagi saya, memasak itu seperti berdoa. Ketika saya masuk ke dapur, saya masuk tanpa memikirkan apa pun. Rasanya seperti saya sedang bersujud kepada Buddha. Saya hanya berkonsentrasi pada diri saya sendiri dan apa yang sedang saya lakukan pada saat itu. Saya berharap mereka yang memakan masakan saya akan merasa bahagia dan damai,” ujarnya.
Hal itu tentu merupakan sesuatu yang di Barat disederhanakan dengan satu kata yaitu mindfulness. Padahal pengertian yang digunakan Barat baru tiba pada lapisan pertama yakni Sati. Nyanaponika Thera menerjemahkan sati sebagai “perhatian murni.” Dan menyatakan bahwa itu hanyalah tahap awal dari latihan kesadaran. Dalam praktik yang benar, sati harus berjalan bersama dengan sampajanna (pemahaman jernih tentang apa yang sedang terjadi). Dan apramada atau kewaspadaan atau kehati-hatian agar tidak lengah. Hanya dengan ketiganya kesadaran benar bisa berfungsi sepenuhnya.
Dalam Satipaṭṭhāna Sutta, sati dan sampajanna, ditambah atappa yakni semangat atau kesungguhan. Jika digabungkan menjadi apa yang disebut yoniso manasikara, yaitu “perhatian yang tepat” atau “refleksi yang bijaksana” — cara melihat dan memahami sesuatu dengan penuh kesadaran dan kebijaksanaan. Namun ketiga istilah yakni Sati, Sampajanna, dan apramada sering disederhanakan dalam bahasa Inggris hanya sebagai “mindfulness”, padahal masing-masing memiliki makna khusus sebagaimana dijelaskan di atas. Umat Buddha Jawa mengenalnya sebagai “Eling lan Waspodo.”
Kembali ke Bhiksuni Jeong Kwan dan kegiatan kulinernya. Dalam setiap potongan sayur, dalam setiap kuah yang ia rebus perlahan, ia menanamkan kesadaran penuh dan niat baik agar siapa pun yang menyantap masakannya merasakan kedamaian—bukan hanya di perut, tetapi juga di hati dan pikiran. Ini adalah pesan universal yang sangat relevan bagi umat Buddha di Indonesia. Di tengah masyarakat yang semakin terhubung melalui kuliner—baik melalui media sosial, festival makanan, maupun gaya hidup sehat—kita memiliki peluang besar untuk memperkenalkan nilai-nilai Buddhis lewat makanan.
Masakan wihara Mahayana yang vegetarian, minim bumbu, dan menghormati alam, adalah cerminan dari ahimsa atau nir-kekerasan, kesederhanaan, dan keterhubungan dengan semua makhluk.
Jeong Kwan juga mengingatkan kita bahwa makanan bukan hanya soal rasa, tetapi juga soal energi. “Jangan memasak saat marah,” katanya, “karena itu meracuni makanan.” Ini adalah ajaran mendalam tentang karma dan kesadaran: apa yang kita pancarkan dalam proses mencipta—termasuk memasak—akan memengaruhi orang lain. Dengan demikian, dapur bisa menjadi tempat latihan Dharma sehari-hari.
Yang menarik, meski hidup dalam kesederhanaan dan disiplin monastik, Jeong Kwan tetap manusiawi. Ia mengaku sesekali menikmati es krim vanila atau cokelat, terutama setelah seharian bermeditasi. Ini mengingatkan kita bahwa jalan spiritual bukan tentang menyangkal kemanusiaan, melainkan tentang keseimbangan, kesadaran, dan kejujuran terhadap diri sendiri—nilai-nilai yang sangat dekat dengan ajaran Buddha.
Bagi para bhiksu atau bhikkhu, bhikkhuni atau bhiksuni, dan umat awam di Indonesia, kisah Bhiksuni Jeong Kwan adalah undangan untuk berpikir kreatif: bagaimana kita bisa memperkenalkan Dharma dalam cara yang relevan dengan zaman? Melalui seni, bela diri, pengobatan, musik, pendidikan, teknologi, atau bahkan—seperti Jeong Kwan—melalui kuliner. Selama dilandasi niat tulus untuk membawa kebaikan dan kedamaian, setiap tindakan bisa menjadi jalan Dharma.
Mari kita ambil inspirasi darinya: bahwa menyebarkan cinta kasih dan kebijaksanaan tidak memerlukan panggung besar, tetapi cukup dengan hati yang tulus dan tangan yang bekerja dengan penuh kesadaran. Seperti kata Jeong Kwan,
“Manusia itu seperti benih. Anda menanam benih di tanah, lalu ia tumbuh. Sama seperti kita yang berasal dari tubuh ibu kita. Begitulah cara kita semua terhubung dengan alam semesta. Alam memerlukan waktu untuk menumbuhkan segala sesuatu. Saya bisa menjadi mentimun, saya bisa menjadi kubis. Saat saya memasak, saya menjadi bahan itu sendiri.”
Dan melalui setiap hidangan yang kita sajikan dengan cinta, kita menanam benih kedamaian itu—sesuap demi sesuap. @eddy setiawan
Sumber: https://kbr.id/articles/indeks/a_south_korean_buddhist_nun_takes_temple_cuisine_global











