Om Mani Padme Hum diwujudkan dalam arsitektur dan ikonografi vihara chinese buddhism atau disebut di Indonesia sebagai kelenteng
Om Mani Padme Hum adalah mantra untuk memuliakan Avalokitesvara atau Guanyin atau Kwan Im. Bisa dibaca dari bentuk arsitektur dan ikonografi vihara Buddhisme Tionghoa. Sepasang singa mewakili AUM atau OM. Permata di atap yang dijaga sepsang naga adalah MANI. Teratai sebagai singgasana Buddha, Bodhisattava dan Mahasattva adalah Padme. Sedangkan Hum direpresentasikan arca Buddha, Bodhisattva dan Mahasattva yang ada.

Kelenteng, dengan ikonografinya yang khas, ternyata dapat menjadi media unik untuk menyampaikan pesan-pesan spiritual sebagaimana Borobudur dan candi lainnya. Dapat menjembatani konsep abstrak dalam ajaran agama dengan pengalaman konkret.  Artikel ini akan mengajak pembaca menelusuri hubungan mantra, ikonografi, dan arsitektur kelenteng di Indonesia.

Meresapi Om Mani Padme Hum melalui Ikonografi Kelenteng

Eddy Setiawan*

Pendahuluan

Om Mani Padme Hum, Adalah mantra Buddhis yang mendunia. Merupakan mantra untuk Avalokitesvara (Sansekerta) atau Guan Yin (Mandarin), Kwan Im (Hokkien) dan berbagai penyebutannya di tiap negara. Mantra ini bukan sekedar empat suku kata. Leluhur Tionghoa yang merantau ke Nusantara ratusan tahun yang lalu, telah mewujudkannya dalam ikonografi, arsitektur, dan tata ruang tempat suci Buddhis di Asia.

Pemujaan terhadap Avalokitesvara, dilakukan leluhur Tionghoa dengan mendirikan Kwan Im Teng. Biasanya di daerah-daerah Pelabuhan atau pasar akan dapat ditemukan Kwan Im Teng. Untuk wilayah Hindia Belanda, pendiriannya bersamaan dengan perkembangan wilayah sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa, Jayakarta menjadi Kota Batavia. Sekira 1600-an, Kwan Im Teng pertama berdiri di daerah yang sekarang dikenal sebagai Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat.

Pelafalan istilah Kwan Im Teng oleh masyarakat lokal yang tidak berbahasa Mandarin, bergeser sesuai bunyi kata yang mereka dengar menjadi kelenteng. Ikonografi kelenteng, sebagaimana tempat-tempat suci Buddhis lainnya. Seperti Borobudur misalnya, selalu dipenuhi dengan pesan yang dalam melalui berbagai elemen visualnya. Tingkatan, relief, bentuk lubang pada stupa, hingga stupa tanpa lubang di puncak Borobudur. Seluruhnya memiliki kesinambungan pesan dharma dari Buddha. Ibarat sebuah kitab tiga dimensi terbesar di dunia.

Demikian halnya dengan kelenteng, tempat ibadah umat Buddha Tionghoa.  Ikonografinya bukan sekedar hiasan pelengkap, akan tetapi menyampaikan pesan mendalam ajaran Buddha. Tidak seperti yang selama ini dipahami kebanyakan orang, bahwa ia hanyalah sekedar praktik folk religion atau agama rakyat dari masa klasik hingga sekarang. Seolah bebas nilai dan hanya mempraktikan animisme.

Gondomono (1996: 14, 105) yang menyitir Eliot menyebutnya religi klasik atau shenisme, yang menyembah arwah leluhur, thian, dan dewata bawahanya. Namun Gondomono keliru Ketika menempatkan shenisme ini seolah terpisah sama sekali dari Taoisme dan Buddhisme. Memang masuk akal apabila Tiongkok sebelum masuknya Agama Buddha dari luar, memiliki sistem keyakinan sendiri atau sederhananya shenisme sebagaiman dijelaskan di atas. Namun, Ketika Agama Buddha dan Tao berkembang, selain memiliki kosmologi dewata tersendiri. Kedua agama yang masih eksis hingga saat ini di Tiongkok, juga mengintegrasikan dewa dari shenisme tersebut ke dalam kosmologi masing-masing.

Kelenteng, dengan ikonografinya yang khas, ternyata dapat menjadi media unik untuk menyampaikan pesan-pesan spiritual sebagaimana Borobudur dan candi lainnya. Dapat menjembatani konsep abstrak dalam ajaran agama dengan pengalaman konkret.  Artikel ini akan mengajak pembaca menelusuri hubungan mantra, ikonografi, dan arsitektur kelenteng di Indonesia.

Migrasi Leluhur Tionghoa ke Jawa dan Agama Baur

Migrasi dari Tiongkok ke Jawa secara massif terjadi pada era kolonial awal. Bentuk agama yang dibawa leluhur Tionghoa, disebut Gondomono (1996) sebagai agama baur, dengan penjelasan yang tidak mendalam. Seolah agama yang mencampuradukkan semuanya. Padahal baur dapat dilihat dari perspektif agama-agama yang dianggap asli Tiongkok yaitu Tao dan Buddha.

Agama Buddha memang berasal dari India, namun keberhasilan sinifikasi yang demikian mendalam menempatkannya sebagai agama asli. Salah satu indikatornya, hanya kedua agama tersebut yang memiliki gunung-gunung suci sejak masa Tiongkok klasik, dan memiliki pengaruh besar terhadap arsitektur, bahasa, hingga pengobatan.

Bentuk baur memang tampak dalam praktik keagamaan di tempat ibadah yang disebut kelenteng. Namun pembagian Salmon dan Lombard (2017) dari hasil kajian terhadap 74 kelenteng di Jakarta, dapat menjadi pedoman yang lebih tepat. Kajian tersebut membedakan kategori kelenteng berdasarkan dewata tuan rumah atau dewata utamanya. Oleh karena hanya Agama Buddha dan Agama Tao yang memiliki kosmologi dewata Tiongkok. Maka hanya terdapat kategori kelenteng Buddhis (umat Buddha) dan kelenteng Taois (umat Tao). Sedangkan Konfusianis, tidak memiliki kosmologi dewata. Maka Salmon dan Lombard meski menjadikan kajiannya kurang konsisten, menempatkan Konghucu sebagai dewata utama di Boen Bio Surabaya dengan penjelasan sangat singkat. Karena memang Konghucu tidak pernah dikanonisasi sebagai dewata dari masa Tiongkok klasik hingga saat ini.

Kelenteng sebenarnya adalah sebutan generik orang Jawa terhadap tempat ibadah orang Tionghoa. Baik yang beragama Buddha maupun Tao. Tidak seperti Salmon dan Lombard yang dapat mengkaji berdasarkan dewata utama atau tuan rumah. Masyarakat awam tidak dapat membedakan, karena keterbatasan pengetahuan dan pemahaman tentang praktik keagamaan di tempat yang disebut kelenteng tersebut. Padahal tempat ibadah tersebut memiliki nama dengan pemaknaan masing-masing. Contoh Kwan Im Teng, Jin De Yuan, Kong Hoa Sie, Tay Kak Sie, Sam Po Kong dan sebagainya.

Salah satu ikonografi yang konsisten pada kelenteng adalah sepasang singa, sepasang naga menjaga mutiara menyala di atap, dan Teratai sebagai alas berdiri atau duduk Buddha dan Bodhisattva. Keseluruhannya membentuk pesan ajaran Buddha, yang dirangkum dalam mantra Om Mani Padme Hum.  Akan tetapi saat ini tidak banyak yang dapat menangkap pesan tersebut. Diantaranya akibat diskriminasi selama tiga dasawarsa lebih terhadap orang-orang Tionghoa pada masa orde baru. Hal yang menyebabkan kosongnya kelenteng-kelenteng dari para bhiksu Mahayana yang pada masa kolonial hingga orde lama masih menjadi pembimbing spiritual.

Om: Representasi Tiga Kemurnian

Suku kata “Om” berasal dari A–U–M, representasi tiga aspek Buddha: tubuh, ucapan, dan pikiran murni (Strong, 2007). Jonathan Strong menekankan keselarasan tindakan, perkataan, dan pikiran dalam praktik Buddhis.

Transformasi simbolik A–U–M terlihat dalam ikonografi singa. Lewis Fogelin (2015) mencatat ketiadaan ikonografi singa Buddhis sebelum masa Aśoka (abad ke-3 SM). Metafora “Buddha sebagai Singa” (Śākyasiṃha) dan “raungan singa Dharma” (siṅhanāda) menggambarkan kekuatan ajaran Buddha. Pada masa Asoka, singa menjadi simbol resmi Buddhisme karena kekuatan dan keagungannya merepresentasikan kekuasaan sekaligus perlindungan Dharma.

Kapitel singa pada pilar Aśoka adalah ikonografi singa Buddhis monumental pertama (Craven, 1997; Dehejia, 1997). Tradisi ini menyebar ke Asia Timur, termasuk komainu di Jepang, mewarisi konsep fonetik yang sama (Ebrey, 2003). Di kelenteng Nusantara, pengaruh komainu dapat dilihat pada patung singa di gerbang masuk, meski dengan gaya yang telah mengalami penyesuaian lokal.

Mani: Permata Welas Asih

“Mani” berarti permata. Dalam Mahāyāna, cintāmaṇi (permata pemenuh harapan) adalah simbol welas asih Avalokiteśvara (Hopkins, 1980), melambangkan potensi tak terbatas untuk memberi manfaat (Hopkins, 1980).

Ikonografi Buddhisme Tiongkok memperkuat makna ini. Naga menjaga mutiara bercahaya di atap kelenteng sebagai lambang cintāmaṇi (Little, 2000), memancarkan kebijaksanaan dan welas asih. British Museum mengklasifikasikan mutiara naga (flaming pearl) sebagai wish-granting jewel. Di Kelenteng Tay Kak Sie, Semarang, misalnya, naga menjaga mutiara dapat dilihat di atap bangunan utama, melambangkan perlindungan dan berkah bagi seluruh kelenteng.

Dalam tradisi kelenteng Nusantara, mutiara yang dijaga naga adalah “Mani”: cahaya welas asih yang melindungi dan menyinari dunia. Cahaya ini memengaruhi pengalaman spiritual umat, memberikan rasa aman, harapan, dan mengingatkan akan pentingnya welas asih.

Padme: Teratai sebagai Simbol Kebijaksanaan Tanpa Noda

“Padme” berarti “teratai”, simbol kebijaksanaan (prajñā) yang tak tercemar (Dehejia, 1997). Teratai adalah ikonografi paling konsisten dalam seni Buddhis (Dehejia, 1997), melambangkan bagaimana kebijaksanaan tumbuh dari pengalaman sulit.

Relief Borobudur menunjukkan Bodhisattva duduk di atas teratai. Di kelenteng Kwan Im, Jakarta, patung Avalokiteśvara seringkali digambarkan duduk di atas teratai, menekankan sifat welas asih dan kebijaksanaan yang tak terpisahkan. Simbol teratai relevan dengan kehidupan sehari-hari, mengingatkan bahwa kebijaksanaan dapat ditemukan dalam setiap pengalaman, bahkan yang paling menantang.

Hum: Non Dualitas Welas Asih dan Kebijaksanaan

“Hum” adalah suku kata pemeteraian, mewakili kesadaran tak tergoyahkan (Hopkins, 1980), menandai penyatuan welas asih (karuṇā) dan kebijaksanaan (prajñā) (Hopkins, 1980).

Dalam ikonografi Vajrayāna, hampir semua Buddha dan Bodhisattva dapat diwujudkan melalui “Hum” (Rhie & Thurman, 1991). Patung Buddha Śākyamuni, Amitābha, Guanyin, atau Kṣitigarbha di altar kelenteng adalah representasi “Hum”, puncak perjalanan spiritual. Umat Buddha dapat mencapai penyatuan welas asih dan kebijaksanaan melalui meditasi, visualisasi, dan praktik spiritual lainnya di kelenteng.

Kelenteng sebagai Mantra Tiga Dimensi

Kelenteng dapat dilihat sebagai struktur mantra: Gerbang dan Singa Penjaga → Om: Memurnikan tubuh, ucapan, dan pikiran (Fogelin, 2015; Strong, 2007). Atap dan Naga Penjaga Mutiara → Mani: Welas asih Avalokiteśvara (Little, 2000). Teratai pada Singgasana Buddha → Padme: Pencerahan tanpa noda (Dehejia, 1997; Craven, 1997). Patung Buddha dan Bodhisattva di Altar → Hum: Penyatuan welas asih dan kebijaksanaan (Hopkins, 1980; Rhie & Thurman, 1991). Dengan demikian, arsitektur kelenteng didesain untuk mengingatkan pesan Om Mani Padme Hum. Setiap insan yang hadir ke kelenteng, ibarat “melangkahkan tubuhnya” di dalam mantra suci tersebut.

Maka, ketika seorang umat Buddha menancapkan dupa di depan Buddha atau Guanyin, ia sesungguhnya telah menapaki perjalanan batin: Om — Memasuki gerbang dengan kesadaran murni. Mani — Membangkitkan cinta kasih universal. Padme — Memohon kebijaksanaan tak bernoda. Hum — Menghadapkan diri pada figur yang sudah menyempurnakan keduanya. Ritual sederhana itu adalah deklarasi sunyi: Bahwa ia pun bertekad ingin menapaki jalan welas asih dan kebijaksanaan, dengan meneladani Buddha, Guanyin, atau Bodhisattva dan Mahasattva lainnya.

Demikian, dari Himalaya hingga Nusantara, dari pilar Aśoka hingga candi, vihara atau kelenteng di wilayah Indonesia, Om Mani Padme Hum hidup sebagai suara, teks, cahaya, dan ruang suci yang mengarahkan setiap insan pada penggugahan sempurna. Senantiasa menggemakan pesan dari para leluhur, agar penerusnya senantiasa berjuang penuh kesadaran untuk memurnikan tubuh, ucapan, dan pikirannya.

* Peneliti Institut Nagarjuna

Bacaan Lanjutan

Berzin, A. (2002). Taking the Kalachakra Initiation. Snow Lion Publications, Ithaca, New York.

Craven, R. (1997). Indian Art: A Concise History. Thames & Hudson, London.

Dehejia, V. (1997). Discourse in Early Buddhist Art: Visual Narratives of India. Munshiram Manoharlal Publishers, New Delhi.

Ebrey, P.B. (2003). Chinese Civilization and Society: A Sourcebook. Free Press, New York.

Fogelin, L. (2015). An Archaeological History of Indian Buddhism. Oxford University Press, Oxford.

Hopkins, J. (1980). Meditation on Emptiness. Wisdom Publications, Somerville, MA.

Little, S. (Ed.). (2000). Taoism and the Arts of China. Art Institute of Chicago, Chicago.

Rhie, M.M. & Thurman, R. (1991). Wisdom and Compassion: The Sacred Art of Tibet. Abrams, New York.

Strong, J. (2007). Buddhism: A Very Short Introduction. Oxford University Press, Oxford.

Wayman, A. & Wayman, E. (1973). The Lion’s Roar of Queen Śrīmālā. Columbia University Press, New York.

LEAVE A REPLY