
Narasi Populer di Indonesia dan Malaysia
Narasi keislaman Zheng He yang beredar di Indonesia dan Malaysia bertumpu pada marga Ma yang umum di kalangan Muslim Hui, klaim bahwa ayahnya seorang haji, serta catatan bahwa ia pernah membantu memperbaiki masjid di pelabuhan asing. Namun, semua ini bersifat indikasi lemah (weak evidence) dan tidak didukung dokumen primer yang menegaskan keyakinan pribadinya.
Beberapa waktu lalu juga tersiar kabar tentang penemuan makam Cheng Ho di Tiongkok. Namun bukti ini juga lemah karena berdasarkan catatan Zheng He meninggal di Kalkuta tak lama setelah dimulainya penjelajahan ketujuhnya pada musim gugur 1433, dan armadanya kembali ke Tiongkok pada musim panas. Rentang waktu yang lama tentu tidak mungkin membawa raganya pulang. Berdasarkan tradisi para pelaut, diyakini bahwa Zheng He “dikuburkan” di lautan.
Apalagi kesimpulan para arkeolog pada pertengahan 2010 lalu menyatakan bahwa makam tersebut adalah makam Hong Bao, salah seorang wakil Zheng He dalam tujuh pelayaran yang terkenal tersebut. Makam ini semula berbentuk tapal kuda sebagaimana makam tradisional Tionghoa, baru pada 1985 diubah ke bentuknya yang baru.
Namun, jika ditelusuri dengan pendekatan sejarah, narasi yang ada selama ini jelas tidak memiliki dukungan kuat dari sumber primer maupun sekunder yang kredibel. Tidak ada dokumen resmi Dinasti Ming (Ming Shilu), catatan perjalanan, prasasti, atau artefak otentik yang menyebutkan Zheng He memiliki nama Islam, mengucapkan syahadat, atau melaksanakan ibadah khas Muslim.
Narasi ini sebagian besar terbentuk di era modern (abad 20), sering kali terkait kebutuhan representasi identitas di ruang publik. Diperkirakan mulai berkembang pada masa akhir Dinasti Qing dan transisi ke republik pada 1900an. Jika narasi populer menempatkan Zheng He sebagai tokoh muslim, bukti-bukti primer menunjukkan identitas keagamaan Zheng He yang berbeda.
Jejak Buddhis yang Terekam dalam Sumber Primer
Beberapa sumber primer yang ditemukan di Tiongkok, —seperti catatan dinasti Ming dan salinan sutra-sutra oleh Zheng He ataupun pihak lain yang didanainya—, menunjukkan dengan jelas bahwa Zheng He beragama Buddha. Diantaranya adalah bukti primer berikut:
1. Gelar Resmi: Sanbao Taijian (三寶太監)
Dalam Ming Shilu atau Catatan Resmi Dinasti Ming, Zheng He diberi gelar Sanbao Taijian. Secara harfiah berarti Kasim Tri Ratna (Sansekerta) atau Tiga Permata. Tiga Permata adalah konsep inti yakni Buddha, Dharma, dan Sangha. Umat Buddha menyatakan berlindung kepada Tiga Permata. Gelar ini bukan sekadar sapaan populer, melainkan penanda status yang diakui secara resmi oleh birokrasi kekaisaran, yang juga memuat konotasi religius jelas. Penjelasan catatan resmi dinasti tersebut juga diungkapkan Dreyer, EL 2007, Zheng He: China and the Oceans in the Early Ming Dynasty 1405-1433, Pearson Longman, New York.
2. Zheng He memiliki Nama Dharma
Umat Buddha yang telah ber-Tri Sarana atau mengucap berlindung kepada Buddha, Dharma, dan Sangha (Tri Ratna) akan mendapatkan nama dharma. Adapun nama dharma Zheng He diketahui dari temuan beberapa sutra kuno. Dalam sejumlah kolofon sutra tersebut, Zheng He sebagai penyalin sutra, menyebut dirinya dengan nama dharma Fu Jixiang (福吉祥). Zheng He juga dalam berbagai kolofon kerap mengagungkan San Bao, seperti:
“Demi membalas berkah agung dari San Bao (Tri Ratna), aku menyalin sutra ini dengan harapan menyelamatkan semua makhluk.”
Salah satu salinan sutra oleh Zheng He, berangka tahun Yongle 12 atau 1414 Masehi, telah ditemukan dan dilelang dengan harga fantastis di balai lelang Suthesby’s New York 2015 lalu. Pada kolofon sutra ini Zheng He menyatakan tekadnya menyalin beberapa sutra Buddhis lainnya yaitu:
- Vajracchedika Prajnaparamitha Sutra (Jin Gan Jing)
- Guanyin Sutra (Guanyin Jing).
- Buddha Amithabha Sutra (Mituo Jing).
- Marici Bodhisatva Sutra (Molizhitian Jing).
- Prajnaparamithahrddya (Xin Jing).
- Suranggama Sutra (Leng Yang Jing).
- Nilakantha Dharani (Da Bei Zhou).
Penyalinan kitab suci Buddhis pada masa tersebut adalah salah satu praktik pengumpulan kebajikan. Banyak pejabat bahkan kaisar yang melakukannya, untuk memperoleh karma baik. Hasil penyalinan biasanya disebarkan ke berbagai vihara, untuk keperluan penyebaran agama Buddha.
Pada sutra yang saat ini tersimpan di Museum Long, Shanghai tersebut, Cheng Ho menyatakan bahwa ia melakukan penyalinan sutra karena “setiap mendapatkan perintah untuk melanglang buana selalu mendapat karunia dari San Bao.” Cheng Ho memperkenalkan diri pada bagian awal naskah sebagai “da Ming Gui taijian Zheng He, faming Fu Jixiang” yang artinya “kasim negara Ming yang agung dengan nama dharma Fu Jixiang.”
3. Zheng He dalam Kolofon Sutra
Kolofon Bhiksu Yao Guangxiao
Bhiksu Yao Guangxiao adalah seorang Kepala Kantor Administrasi Agama Buddha (Senglu Si) Dinasti Ming. Ia juga adalah penasehat Kaisar Zhu Di atau lebih dikenal dengan nama Kaisar Yongle, kaisar yang memerintahkan Zheng He untuk melanglang buana.
Pada bagian penutup Sutra Marici Bodhisatva (Fo Shuo Molizhi Tianzhi Jing) yang ia salin, ia mencatat bahwa pada 1403 tersebut Cheng Ho adalah Pusa jie dizi yakni umat yang sedang bertekad menjalankan sila bodhisatva. Selain itu juga dicatat bahwa Zheng He telah mendanakan sebagian hartanya untuk mencetak dan menyebarluaskan sutra yang disalin Bhiksu Yao tersebut di atas.
Kolofon Shamini Lijie Wen
Salah satu bagian Tri Pitaka yang disalin adalah Vinaya untuk Samaneri atau dalam bahasa Mandarin disebut Shamini Lijie Wen. Naskah yang ditemukan berangka tahun 1420. Zheng He sebagai yang memerintahkan dan mendukung pendanaan penyalinan ini, menulis pada kolofonnya “da Ming Guo feng Fo xin guan taijian Zheng He, faming Fu Jixiang” yang terjemahannya “kasim negara Ming yang agung Zheng He, penganut Buddha dengan nama dharma Fu Jixiang.” Sutra ini masih tersimpan baik di Perpustakaan Provinsi Yunnan.
Kolofon Saddharma Pundarika Sutra
Zheng He juga menuliskan pernyataan serupa pada kolofon Sutra Saddharma Pundarika berangka tahun Ming Xuande 7 atau 1432 Masehi. Sutra ini ditemukan ketika terjadi pemugaran Vihara Baoben di Phinghu, Zhejiang pada 11 September 2002. Sekali lagi tertulis “kasim negara Ming yang agung Zheng He, penganut Buddha dengan nama dharma Fu Jixiang.” Saat ini sutra tersebut dipajang dan tersimpan di Pinghu City Museum.
4.Keberadaan San Bao Gong (三寶宮)
Kuil yang menghormati Zheng He di Tiongkok, Malaysia, dan Indonesia umumnya bernama San Bao Gong. Ini konsisten dengan gelar kehormatan dari kekaisaran yaitu San Bao (Tri Ratna/Tiga Permata: Buddha, Dharma, Sangha), menunjukkan kesinambungan antara identitas spiritual Zheng He dan cara masyarakat Tionghoa mengenangnya.
Menjaga Integritas SejarahZheng He adalah tokoh besar yang melampaui batas-batas agama dan kebudayaan. Ia telah memimpin armada besar mengarungi samudera yang luas, dalam tujuh kali pelayarannya. Catatan pelayaran seperti Yingyai Shenglan (瀛涯胜览) karya Ma Huan — seorang Muslim— memberikan gambaran kebijakan pelayaran, interaksi diplomatik, dan deskripsi negeri yang dikunjungi. Catatan yang penting dan berguna. Tokoh besar memang tak luput dari kontroversi, namun memisahkan antara narasi populer dan bukti otentik bukan hanya tugas akademik, tetapi juga langkah untuk menjaga integritas sejarah. Apa agama Zheng He hanyalah fakta sejarah, tapi apa yang lebih penting adalah yang telah ia lakukan, dan kontribusinya. Misi damai untuk perdagangan dan pertukaran budaya salah satunya, bahwa semua bangsa bisa bersatu untuk memperoleh keuntungan bersama dan dapat saling menghormati dan merayakan keberagaman budaya di seluruh dunia. Bukankah dunia yang bersatu dan damai adalah harapan seluruh umat manusia?@Eddy Setiawan










