Nezha Dewata Tiongkok yang Memiliki Akar India yaitu Nalakuvara
Nezha meski seolah sangat Tiongkok, tapi ternyata memiliki akar asing yaitu dari India. Asalnya adalah Nalakuvara
Empat Raja Langit dalam Tradisi Buddhis

Buddhis di berbagai tradisi mengenal Empat Maharaja Langit yang menjaga empat penjuru mata angin. Masing-masing dewa tersebut memimpin kelompok makhluk tertentu, sebagai berikut:

  1. Dhṛtarāṣṭra (Pali: Dhatarattha; Tionghoa: Chi Guo Tianwang 持國天王; Jepang: Jikokuten; Korea: Jiguk Cheonwang) – arah timur, pemimpin para gandharva.
  2. Vaiśravaṇa (Pali: Vessavaṇa; Tionghoa: Duo Wen Tianwang 多聞天王; Jepang: Tamonten; Korea: Damun Cheonwang) – arah utara, raja para yakṣa.
  3. Virūḍhaka (Pali: Virūlhaka; Tionghoa: Zeng Zhang Tianwang 增長天王; Jepang: Zōjōten; Korea: Jeungjang Cheonwang) – arah selatan, pemimpin para kumbhāṇḍa.
  4. Virūpākṣa (Pali: Virūpakkha; Tionghoa: Guang Mu Tianwang 廣目天王; Jepang: Komokuten; Korea: Gwangmok Cheonwang) – arah barat, pemimpin para nāga.

Tradisi ini tidak hanya dikenal luas di Buddhisme Mahayana Asia Timur, tetapi juga terdapat dalam kanon Pali tradisi Theravāda. Contohnya Atānātiya Sutta dalam Dīgha Nikāya. Sutta ini memuat syair perlindungan yang dianjurkan bagi para bhikkhu, bhikkhuni, upāsaka, dan upāsikā, yang menyebut 41 nama yakṣa tingkat tinggi bawahan Kuvera/Vaiśravaṇa. Nalakuvara memang tidak disebut secara eksplisit, namun disebutkan bahwa Kuvera memiliki banyak putra perkasa—memberi ruang bagi figur seperti Nalakuvara dalam pengembangan tradisi Mahayana.

Ikonografi Vaiśravaṇa dan Nalakuvara

Vaiśravaṇa dalam seni India awal digambarkan memegang payung atau tongkat di tangan kanan dan stūpa di tangan kiri, berdiri di atas yakṣa. Bukti arkeologis tertua berasal dari gerbang Stupa Bharhut (abad ke-2 SM) dengan inskripsi “Kupiro Yakho”.

Nalakuvara, putra Vaiśravaṇa, mengalami proses sinifikasi saat Buddhisme masuk Tiongkok sejak abad pertama Masehi, berubah menjadi 哪吒 Ne Zha. Proses ini mirip dengan transformasi Avalokiteśvara menjadi Guanyin (觀音菩薩). Dalam seni Tiongkok, Vaiśravaṇa (Duo Wen Tianwang) digambarkan memakai baju perang jenderal Tiongkok, memegang tombak dan pagoda, dengan bara api memancar dari kedua lengannya, serta senjata tambahan di pinggang. Lukisan di Gua Dunhuang no. 17 (sekitar tahun 947) bahkan menampilkan Ne Zha berdiri di telapak tangan yakṣa di sisi ayahnya.

Etimologi: Dari Nalakuvara menjadi Ne Zha

Nama Ne Zha adalah hasil transliterasi fonetik dari Nalakuvara atau varian panjangnya Nārāyaṇa Kumārasvāmi. Pada awalnya, bisa saja di transliterasi 納羅俱婆羅 (Na-luo-ju-po-luo) Namun, dalam proses transliterasi kata yang panjang dapat dipendekkan, ku-va atau ma-ra dalam pendengaran penutur Tiongkok mendekati kata Zha atau Cha. Oleh karena itu, Nalakuvara ditransliterasi menjadi 哪吒 (Ne Zha) dan kita di Indonesia karena banyak penutur Hokkien, dibaca Na Cha. Nama ini tidak merujuk pada makna literal dari Nalakuvara. Semata-mata untuk mendekati bunyi nama asli, tanpa memedulikan arti.

Bagi penutur Mandarin, tentu kombinasi ini segera terasa sebagai “nama impor” karena tidak membentuk makna alami—mirip dengan transliterasi tokoh Buddhis India lain seperti Śākyamuni (釋迦牟尼- Se-jia-mo-ni) atau Maitreya (彌勒-Mi-le). Hal ini berbeda dengan Avalokiteśvara yang namanya diterjemahkan maknanya menjadi Kwan Im.

Kajian Modern

Meir Shahar (2015: 178-184) menegaskan bahwa Ne Zha tidak berasal dari Tiongkok, melainkan dari tradisi Buddhis India. Ia menelusuri keterkaitannya dengan Nārāyaṇa Kumarasvāmi, Nalakubara, dan Nalakuvara, yang pada tahun 420 tercatat dalam Buddhacarita sebagai putra Vaiśravaṇa. Pendapat yang sama juga dikemukakan pada kajian terkini seperti Bin (2025) juga menegaskan hal ini.

Dua Tradisi, Satu Tokoh

Ne Zha pertama kali populer di sastra Buddhis-Tiongkok melalui Xi You Ji (Perjalanan ke Barat) karya Wu Cheng’en (1522), di mana ia dihidupkan kembali oleh Buddha. Delapan puluh tiga tahun kemudian, ia masuk ke sastra Taois Fengshen Yanyi (Penciptaan Para Dewa, 1605), namun kali ini dihidupkan oleh Tiandi. Perbedaan ini menunjukkan pergeseran otoritas spiritual dari Buddhisme ke Taoisme oleh kelompok Taois.

Dari Alam Kuno ke Panggung Box Office Dunia

Perjalanan Ne Zha dari Nalakuvara di India kuno hingga menjadi tokoh ikonik dalam budaya Tiongkok adalah kisah lintas peradaban yang jarang disadari publik. Ia lahir dari kosmologi Buddhis India sebagai putra Vaiśravaṇa, salah satu dari Empat Raja Langit, lalu mengalami proses transliterasi fonetik ke bahasa Tionghoa, disingkat menjadi dua suku kata tanpa makna literal dalam Mandarin, tetapi tetap menyimpan jejak bunyi aslinya. Sinifikasi ini membuatnya demikian mengakar di tanah perantauannya, sehingga tidak lagi terasa asing seiring berjalannya waktu.

Bukti linguistik, ikonografi, dan catatan sastra menunjukkan kesinambungan akar Buddhis-Indianya. Meskipun masyarakat yang tidak berbahasa mandarin mungkin mengira ia adalah mitologi Tiongkok murni. Popularitasnya yang berlanjut di era modern, termasuk melalui film animasi Ne Zha: Birth of the Demon Child (2019) dan sekuelnya (2024), membuktikan kemampuannya untuk beradaptasi dengan zaman. Dari altar hingga layar lebar internasional, Ne Zha terus memikat imajinasi, membentang jembatan antara warisan kuno dan budaya pop kontemporer.

Dengan memahami asal-usulnya yang lintas budaya, kita tidak hanya melihat Ne Zha sebagai sosok pahlawan mitologi, tetapi juga sebagai simbol dari pertemuan dan perpaduan peradaban besar dunia. Perjalanan lintas peradaban telah dilaluinya, dari putra dewa pelindung Buddhisme India, disinifikasi menjadi dewata Buddhis-Tiongkok, kemudian diadopsi juga oleh Taoisme dan kepercayaan rakyat.@Eddy Setiawan

Bacaan Lanjutan

Shahar, M 2015, Oedipal God: The Chinese Nezha and His Indian Origin, University of Hawaii Press, Honolulu. DOI:https://doi.org/10.21313/hawaii/9780824847609.001.0001.

Bin, Y 2025, The Nine Incense Sticks of Global History: Nezha, Ambergris and Tambora, Chung Hwa Book CO, Hongkong.

LEAVE A REPLY