
Jejak penghormatan terhadap Brahmā di Nusantara sesungguhnya jauh lebih tua. Dalam prasasti dan relief berbagai candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Brahmā ditampilkan sebagai bagian dari Trimūrti bersama Śiwa dan Viṣṇu. Dalam konteks Buddhadharma masa lalu—terutama dalam tradisi sinkretis Śiwa-Buddha—penghormatan terhadap simbolisasi ini tidak dimaksudkan untuk memohon keberuntungan, melainkan sebagai ekspresi penghargaan terhadap prinsip realisasi kebajikan dan kesempurnaan batin.
Tinjauan Kritis Buddhadharma
Atas Fenomena Pemujaan Brahma Empat Muka di Asia Tenggara
Oleh Eko Nugroho R*
BAB I
PENDAHULUAN
Fenomena pemujaan terhadap sosok Brahmā Empat Muka, yang di Thailand dikenal sebagai Phra Phrom dan di Indonesia populer sebagai ‘Dewa Empat Muka, menjadi salah satu praktik religius yang menarik untuk dikaji dalam konteks perkembangan spiritual masyarakat Asia Tenggara modern. Dalam beberapa dekade terakhir, sosok ini tidak hanya dijumpai di lingkungan masyarakat Thailand, tetapi juga muncul di berbagai kota besar Indonesia seperti Jakarta, Medan, dan Bali. Banyak umat mendatangi altar atau patungnya dengan harapan memperoleh keberuntungan, kesejahteraan, dan perlindungan spiritual.
Di tingkat sosiologis, fenomena ini memperlihatkan keterpaduan antara unsur Hinduisme, Buddhadharma, dan kepercayaan lokal yang menghasilkan bentuk religiositas baru yang bersifat sinkretis. Di Thailand, popularitas Phra Phrom meningkat sejak pembangunan Kuil Erawan di Bangkok pada pertengahan abad ke-20. Sosok ini diidentifikasi sebagai manifestasi Brahmā, tetapi dipuja layaknya pelindung rumah tangga, usaha, dan perjalanan hidup. Di Indonesia, praktik serupa semakin merebak, diadopsi dan berkembang tidak hanya di perkotaan bahkan hingga wihara-wihara di perdesaan. Patung Brahmā Empat Muka walaupun persebarannya secara umum sejak awal didukung oleh tradisi Theravada yang berkembang dari Thailand tetapi seiring popularitasnya, pemujaan ini diikuti juga oleh umat lintas mazhab dan tradisi yang haus akan ritus mencari ‘berkah’dan penolak bala.
Brahma di Nusantara
Jejak penghormatan terhadap Brahmā di Nusantara sesungguhnya jauh lebih tua. Dalam prasasti dan relief berbagai candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Brahmā ditampilkan sebagai bagian dari Trimūrti bersama Śiwa dan Viṣṇu. Dalam konteks Buddhadharma masa lalu—terutama dalam tradisi sinkretis Śiwa-Buddha—penghormatan terhadap simbolisasi ini tidak dimaksudkan untuk memohon keberuntungan, melainkan sebagai ekspresi penghargaan terhadap prinsip realisasi kebajikan dan kesempurnaan batin. Ia melambangkan aspek kebajikan dan kemunculan batin luhur yang mengarah pada kewaskitaan (prajñā) dan welas asih (karuṇā) untuk ditumbuhkembangkan.
Berbeda dari makna simbolis tersebut, fenomena pemujaan modern terhadap Brahmā Empat Muka justru memperlihatkan pergeseran orientasi spiritual. Di banyak tempat, perwujudan dewa yang ‘diarcakan’ ini dianggap sebagai entitas adikodrati yang diyakini mampu memberikan keselamatan, kesejahteraan dan keberuntungan material. Hal ini menunjukkan kecenderungan manusia modern untuk mencari pengandalan eksternal—entitas supranatural yang dianggap mampu menolak kesialan dan memberi keamanan—alih-alih menumbuhkan pengandalan batin melalui pemahaman dan praktik Dharma.
Dalam pandangan Buddhadharma, orientasi semacam ini mengandung problem soteriologis yang mendasar. Ajaran Buddha selalu diarahkan menuju pembebasan dari penderitaan (dukkha-nirodha), bukan sekadar pencapaian kenikmatan duniawi atau kelahiran di alam yang lebih tinggi. Bahkan ketika Sang Buddha menjelaskan pahala kebajikan yang dapat mengantarkan pada kelahiran di alam surga (devaloka) atau alam Brahmā (brahmaloka), Beliau tetap menegaskan bahwa itu bukanlah tujuan akhir, melainkan keadaan sementara yang masih termasuk dalam lingkaran samsāra.
Dalam Itivuttaka 109 (Suddhāvāsa Sutta), Sang Buddha bersabda:
“Para bhikkhu, bahkan kelahiran di alam Brahmā pun masih disertai dengan residu/jelantah batin (asava). Aku katakan bahwa seseorang yang belum menanggulangi kelesah batin, masih kembali ke dunia ini lagi dan lagi.”
Kutipan ini menegaskan bahwa pahala surgawi tidak identik dengan pembebasan sejati (vimutti). Selama akar kebingungan dan keliru mengerti (avijjā) belum tercabut, seseorang akan tetap berputar dalam lingkaran kelahiran dan kematian. Oleh karena itu, arah pengajaran Buddha selalu menuju pada Jalan Pembebasan (Magga)—baik dalam bentuk realisasi Nibbāna sebagaimana dicapai oleh para siswa (śrāvaka), maupun jalan penggugahan Bodhicitta sebagaimana yang ditempuh Para Bodhisattva menuju penggugahan sempurna (anuttarā-samyak-saṃbodhi).
Dengan demikian, ajaran yang hanya berorientasi pada pencapaian kehidupan bahagia di alam surga atau alam Brahmā, sekalipun tampak bersumber dari Dharma, sesungguhnya tidak mewakili esensi Buddhadharma. Ia tergolong pada pengejaran yang sia-sia (mogha-pariyesana) karena masih terbatas pada lingkaran samsāra dan belum mengarah pada dicabutnya akar penderitaan.
Kajian ini berupaya menelaah fenomena pemujaan Brahmā Empat Muka melalui pendekatan filosofis, tekstual, dan reflektif. Tujuannya bukan untuk menolak eksistensi dewa atau menafikan dimensi simbolik religiusnya, melainkan untuk mengembalikan pemahaman umat kepada arah yang selaras dengan Dharma: bahwa pengandalan sejati tidak terletak pada sosok adikodrati mana pun, melainkan pada ‘kewaskitaan, welas asih, dan disiplin batin’ yang menuntun menuju pembebasan sejati.
BAB II
BRAHMĀ DALAM KONTEKS BUDDHADHARMA
Kedudukan Brahmā dalam Kosmologi Buddhis
Dalam ajaran Buddhadharma, Brahmā tidak dipandang sebagai pencipta atau penguasa tertinggi sebagaimana dalam sistem teologis tertentu di Hinduisme. Ia merupakan makhluk yang terlahir di alam rūpa-loka, hasil dari pencapaian jhāna—keadaan meditatif yang dicapai melalui konsentrasi mendalam. Karena masih berada dalam lingkup kelahiran dan kematian, Brahmā tetap termasuk dalam lingkaran samsāra dan tunduk pada karma niyama yang membelenggunya. Hal ini ditegaskan Buddha, “Para bhikkhu, bahkan kelahiran di alam Brahmā pun masih disertai dengan residu/jelantah batin (āsava).” (Itivuttaka 109, Suddhāvāsa Sutta).
Selain keterikatan pada samsāra, sosok Brahmā juga memiliki keterbatasan pengetahuan. Dalam Brahmajāla Sutta dan Tevijja Sutta (DN 13), Sang Buddha menjelaskan bahwa beberapa Brahmā memiliki pandangan keliru (micchādiṭṭhi) bahwa mereka adalah pencipta dunia, karena muncul pertama kali di alamnya setelah kehancuran kosmos.
Keterbatasan ini diilustrasikan secara dramatis dalam Kevatta Sutta (Dīgha Nikāya 11). Diceritakan seorang bhikkhu yang mencari jawaban atas pertanyaan metafisik yang tak terjawab oleh para dewa, akhirnya bertanya langsung kepada Brahmā Agung. Namun, Brahmā Agung mengakui ketidakmampuannya menjawab pertanyaan tersebut, bahkan menyarankan bhikkhu itu untuk bertanya kembali kepada Sang Buddha. Pengakuan ketidaktahuan oleh Brahmā Agung ini menjadi bukti bahwa ia tidak maha tahu (sarvajñāna) dan tidak mampu memberikan perlindungan soteriologis sejati.
Kisah di atas juga menegaskan bahwa kewaskitaan sejati tidak bisa dicapai dengan berdiam di alam Brahma, tetapi hanya mereka yang telah menembus pemahaman langsung atas Dharma yang akan sempurna pengetahuannya. Maka meski luhur dan berwibawa, Brahmā bukanlah sumber keselamatan tertinggi untuk dipuja atau ditempatkan sebagai pengandalan sejati. Pengandalan sejati bukanlah pada sosok luar, melainkan pada pembinaan batin—melalui pengertian selaras (sammā-diṭṭhi), usaha selaras (sammā-vāyāma), dan samādhi yang selaras dengan Dharma.
Brahmavihāra: Transformasi Makna Brahmā dalam Jalan Dharma
Sang Buddha menafsirkan ulang istilah Brahmā melalui ajaran Brahmavihāra—empat kediaman luhur batin: mettā (cinta kasih), karuṇā (welas asih), muditā (simpati sukacita), dan upekkhā (keseimbangan batin). Dalam Dīgha Nikāya dan Itivuttaka, Sang Buddha menjelaskan bahwa seseorang yang memancarkan keempat sikap ini akan “berdiam seperti Brahmā,” bukan karena ia menjadi dewa, tetapi karena batinnya menembus keluasan dan keseimbangan tanpa batas.
Keluasan batin ini secara metaforis melampaui segala batas fisik. “Bagaikan seorang peniup sangkakala yang suaranya terdengar ke empat arah tanpa kesulitan, demikian pula seorang bhikkhu yang mengembangkan cinta kasih batin, tidak terbatas, tanpa kebencian, tanpa permusuhan.” (Aṅguttara Nikāya 7:60).
Ini berarti, praktik Brahmavihāra adalah latihan untuk perluasan kesadaran yang sama luasnya dengan alam semesta. Dengan demikian, makna “Brahmā” dalam Buddhadharma bukan menunjuk pada entitas eksternal yang harus disembah, melainkan kualitas luhur yang dapat dibangkitkan dari dalam diri. Seorang praktisi yang mengembangkan Brahmavihāra sejatinya telah menapaki jalan menuju pembebasan, sebab ia melatih batin yang selaras dengan kewaskitaan dan welas asih universal. Bahkan, tujuan praktik ini melampaui sekadar kelahiran kembali di alam luhur, sebagaimana ditegaskan dalam Karaṇīya Metta Sutta:
“Dengan tidak berpegang pada pandangan salah, dengan penuh kebajikan dan penglihatan sempurna, setelah menaklukkan nafsu indera, ia tidak akan lahir lagi di rahim mana pun.” (SN 1.8:10).
Kutipan ini menggarisbawahi bahwa Brahmavihāra—ketika disempurnakan dengan kewaskitaan—adalah jalan menuju pemutusan siklus kelahiran, yaitu Nibbāna, yang merupakan satu-satunya tujuan soteriologis tertinggi, jauh melampaui alam Brahmā.
BAB III
KRITIK BUDDHADHARMA TERHADAP PEMUJAAN BRAHMĀ EMPAT MUKA
Kesalahkaprahan Istilah ‘Si Mian Fo’ dan Dampaknya
Fenomena penyebutan sosok Brahmā Empat Muka dengan istilah Si Mian Fo (四面佛) di berbagai wilayah Asia Tenggara, termasuk di Indonesia—terutama di Pusat Pemujaan Brahma Empat Muka di Riverwalk Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta—menjadi salah satu contoh kasus proses akulturasi dan sekaligus kekeliruan konseptual dalam pemahaman lintas tradisi. Secara literal, Si Mian Fo berarti ‘Buddha Empat Muka’, karena kata Fo (佛) dalam bahasa Mandarin berarti Buddha. Sedangkan sosok yang dipuja tersebut bukanlah Buddha! Melainkan Brahmā, yaitu dewa yang masih dipenuhi pandangan keliru karena merasa dirinya sebagai pencipta, ia populer dalam sistem kosmologi India kuno.
Kekeliruan ini berakar dari dua faktor utama. Pertama, adanya kecenderungan sebagian masyarakat Tionghoa di Asia Tenggara untuk ‘mengasimilasikan figur asing ke dalam kerangka Buddhis atau Taois,’ agar dapat diterima secara kultural tanpa kehilangan rasa keakraban religius. Kedua, karena sosok Brahmā sering tampil dalam ikonografi Buddhis, berdampingan dengan Buddha—misalnya dalam kisah Brahmā Sahampati yang memohon Buddha untuk mengajarkan Dharma setelah Penggugahan (lihat Vinaya Mahāvagga I.5; SN 6.1)—banyak orang awam keliru mengira Brahmā sebagai salah satu wujud atau emanasi Buddha.
Padahal, dalam tradisi Buddhadharma, Brahmā jelas bukanlah makhluk yang tergugah (Buddha), melainkan dewa tinggi (deva-mahārāja) yang masih berada dalam lingkup saṃsāra, walaupun di alam yang lebih halus (rūpa-dhātu). Ia digambarkan sebagai sosok yang penuh kebajikan dan sering menjadi pelindung (deva-paritrāṇa) bagi para praktisi, tetapi bukan objek pengandalan spiritual utama seperti halnya Buddha, Bodhisattva, atau Dharmapala. Karena itu, jika istilah “Si Mian Fo” terus digunakan ‘tanpa koreksi,’ maka terjadi pergeseran teologis yang signifikan, dari pemahaman tentang Brahmā sebagai makhluk surgawi ke arah pengidentifikasian sebagai Buddha, yang secara doktrinal jelas menyimpang dan salah kaprah. Secara linguistik dan teologis, penyebutan yang lebih tepat seharusnya adalah Si Mian Shen (四面神), yang berarti “Dewa Empat Muka”, bukan Si Mian Fo!
Penyebutan yang keliru seperti Si Mian Fo tidak hanya berdampak pada pemahaman awam, tetapi juga berpotensi menimbulkan kebingungan filosofis bagi generasi muda Buddhis yang berusaha memahami struktur kosmologi dan ajaran Buddhadharma secara benar. Maka, langkah-langkah klarifikasi terminologi dan edukasi publik menjadi penting untuk memastikan bahwa penghormatan terhadap sosok Brahmā tetap berada pada posisi yang proporsional: sebagai simbol kebajikan dan pengabdi Dharma, bukan disetarakan dengan Buddha itu sendiri.
Pemujaan dan Pengharapan Keliru: Jerat dalam Belenggu Silabataparamasa
Sang Buddha mengajarkan bahwa belenggu pertama yang harus diputus untuk memasuki arus (sotāpatti) adalah sakkāya-diṭṭhi, vicikicchā, dan sīlabbata-parāmāsa — pandangan salah tentang diri, keragu-raguan, dan keterikatan pada ritual. Ketika umat Buddhis modern mempersembahkan dupa, bunga, dan doa kepada sosok Brahmā dengan harapan rezeki atau keberuntungan duniawi, praktik tersebut sesungguhnya bukan bagian dari pengandalan sejati, melainkan bentuk parāmāsa — keterikatan pada simbol dan ritual tanpa pemahaman soteriologis.
Sang Buddha memperingatkan para pertapa tentang kesia-siaan tergantung pada ritual:
“Apa pun yang dicapai melalui pertapaan keras, penyiksaan diri, atau upacara ritual, itu hanya akan menghasilkan penderitaan di dunia ini atau kelahiran kembali di alam yang lebih rendah. Itu bukanlah jalan yang mengarah pada penyingkiran sepenuhnya terhadap penderitaan dan penembusan pengetahuan tertinggi.” (MN 14)
Artinya, kesucian tidak dicapai dengan kepatuhan ritual, melainkan melalui kebebasan dari pencengkeraman (upadana) dan keliru mengerti (avidya). Ketika pengandalan dialihkan kepada bentuk eksternal — seperti patung, upacara, atau figur dewa — tanpa pengertian mendalam, maka fungsi spiritualnya berubah: bukan lagi jalan menuju pemahaman, melainkan objek ketergantungan mental. Ketika ritus pemujaan itu dijadikan sarana komersial atau hiburan rohani massal, maka ia telah menjadi bentuk baru dari sīlabbata-parāmāsa — pemujaan terhadap ritual itu sendiri. Inilah hakikat dari sīlabbata-parāmāsa.
Dalam Majjhima Nikāya 27 (Cūḷahatthipadopama Sutta), Sang Buddha menegaskan bahwa sekalipun seseorang menjalankan disiplin moral, tapa brata, dan ritual dengan tekun, bila ia ‘berpegang pada praktik itu dengan pandangan salah,’ maka ia tetap terikat pada sīlabbata-parāmāsa. Pandangan salah ini ialah keyakinan bahwa keselamatan datang dari perbuatan (ritual) lahiriah itu sendiri, bukan dari transformasi batin yang menembus ketidaktahuan (avijjā).
Reinterpretasi Simbolik: Brahmā sebagai Cermin Kualitas Batin
Melalui kajian kritis Buddhadharma atas fenomena ini, tanpa bermaksud untuk melarang atau menentang ritus yang sudah terlanjur berkembang, kita dapat menafsirkan ulang simbol Brahmā Empat Muka sebagai representasi dari empat kualitas luhur yang selaras dengan Brahmavihāra. Empat muka dapat dilihat sebagai simbol cinta kasih (maitrī/mettā), welas asih (karuṇā), sukacita/simpatik (muditā), dan kesetaraan batin (upekkhā/upekṣā) — empat wajah kebajikan yang sejati yang kualitasnya tak terukur. Penafsiran ini memiliki landasan tekstual yang kuat dalam Dharma.
Sang Buddha menjelaskan: “Kemudian, dengan pikiran dipenuhi dengan cinta kasih, ia berdiam memancarkan ke satu arah, ke arah yang kedua, ke yang ketiga, ke yang keempat; demikianlah ia berdiam memancarkan ke seluruh dunia — dengan pikiran dipenuhi cinta kasih, berlimpah, tanpa batas, tanpa kebencian dan permusuhan.” (DN 13, Tevijja Sutta).
Dengan demikian, arah pengandalan spiritual bukan kepada sosok Brahmā sebagai entitas yang dianggap adikodrati, melainkan kepada mengembangkan kualitas luhur dalam diri yang menjadi inti dari jalan keselamatan. Karena mereka yang mengembangkan metta-karuna akan memperoleh “Delapan manfaat dari mengembangkan cinta kasih: ia tidur nyenyak, bangun dengan bahagia, tidak bermimpi buruk, dicintai manusia dan makhluk halus, dilindungi oleh para dewa, tidak terbakar oleh api, tidak tenggelam, dan pikirannya mudah terkonsentrasi.” (AN 8:39). Pemujaan simbolik semacam ini dapat dipertahankan selama dipahami sebagai sarana kontemplatif, bukan objek permohonan duniawi. Tetapi jika pemujaan sosok dewa ini justru menggiring umat Buddha semakin tergantung pada ritual maka aktivitas ini jelas sebuah kesia-siaan yang tak perlu dilakukan lagi.
Pengandalan pada Tiga Permata sebagai Landasan Soteriologis
Dalam semua tradisi Buddhadharma, pengandalan kepada Tiga Permata merupakan fondasi spiritual tertinggi. Buddha sebagai Guru yang telah mencapai Penggugahan, Dharma sebagai jalan menuju pembebasan, dan Saṅgha sebagai komunitas yang hidup selaras dengan Dharma. Pengandalan ini tidak bersifat dogmatis, tetapi merupakan sradha/keyakinan berdasarkan pengetahuan yang ditumbuhkembangkan. Sebagaimana dinyatakan Buddha: “Ia yang hidupnya mengandalkan Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, serta memahami Empat Kenyataan Ariya dengan pandangan selaras, itulah pengandalan yang aman, itulah pengandalan tertinggi; dengan berpegang pada pengandalan ini, seseorang terbebas dari semua penderitaan.” (DN 16, Mahāparinibbāna Sutta).
Pengandalan sejati ini berbanding terbalik dengan kecenderungan mencari pertolongan di luar diri. Sebab, “Banyak orang, karena takut, berlindung pada gunung, hutan, taman suci, pohon, atau tempat pemujaan. Itu bukan perlindungan yang aman. Berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Saṅgha adalah perlindungan tertinggi; dengan perlindungan itu, seseorang terbebas dari penderitaan.” (Dharmapada 188–190).
Sang Buddha menegaskan bahwa pengandalan sejati adalah kepada Tiga Permata: Buddha, Dharma, dan Saṅgha — bukan kepada makhluk yang masih berada dalam lingkaran samsāra. Pengandalan pada Buddha artinya menyadari potensi (benih kebuddhaan) yang selalu ada dalam diri kita dan berupaya untuk merealisasi penggugahan. Pengandalan pada Dharma artinya menjadikan ajaran, petunjuk/instruksi dari Buddha sebagai laku keseharian kita, agar setiap pikiran, ucapan, dan tindakan selaras dengan dharma. Sedangkan mengandalkan sangha artinya menjaga hidup harmonis di dalam persaudaraan (kalyana mitra/mitra handal) yang saling mendukung dalam menempuh jalan dharma.
Sang Buddha mengingatkan kepada para siswa:
“Satu jalan menuju keuntungan duniawi, satu jalan lain menuju Nibbāna; biksu yang memahami hal ini tidak akan menginginkan kemuliaan duniawi, tetapi menempuh jalan menuju Nibbāna.” (Dhammapada 75)
Bersambung ke bagian (2/2)
*Peneliti Institut Nagarjuna










