
Pemujaan terhadap sosok Brahmā Empat Muka di berbagai wilayah Asia Tenggara dalam esensinya sering dimaknai sebagai penghormatan terhadap kewaskitaan (prajna) dari segala arah dan empat kebajikan yang tak terukur (brahmavihara). Namun, ketika maknanya bergeser menjadi ritual permohonan rezeki, jodoh, atau keberuntungan, ia terjatuh menjadi transaksi ritualistik yang menjauh dari hakikat citta bhāvanā.
Tinjauan Kritis Buddhadharma
Atas Fenomena Pemujaan Brahma Empat Muka di Asia Tenggara
Oleh Eko Nugroho R*
Praktik pemujaan terhadap sosok dewa yang dianggap berkuasa atas dunia jelas berpotensi memperkuat pandangan keliru tentang adanya sosok luar yang mampu menentukan atau mengubah nasib seseorang, sehingga mereduksi keyakinan terhadap ajaran karma (kamma-niyama) dan pentingnya pengandalan pada daya upaya sendiri.
“Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri; siapa lagi yang dapat menjadi pelindung? Dengan diri yang terlatih baik, seseorang memperoleh pelindung yang sulit ditemukan.” (Dhammapada 160)
Dalam konteks ini, Buddhadharma menegaskan pentingnya attasaraṇa — bersandar pada kekuatan diri sendiri, yang bermakna menggantungkan pengandalan kepada kebajikan dan pengembangan kewaskitaan (prajna) yang dibangkitkan dari dalam, bukan pada entitas eksternal.
BAB IV
PARA BODHISATTVA DAN KUALITAS BRAHMĀVIHĀRA:
JALAN WELAS ASIH YANG MELAMPAUI PEMUJAAN DEWA-DEWA DUNIAWI
Dari Dewa Ritualistik ke Sosok Bodhisattva: Pergeseran Spiritualitas
Jika dalam fenomena kekinian, pemujaan Brahmā empat muka, umat mencari figur penolong supranatural maka jauh sebelum itu tradisi Mahāyāna memperkenalkan bentuk spiritualitas yang lebih subtil dan dinamis dengan menghadirkan berbagai sosok Bodhisattva bahkan perwujudan Buddha yang menjanjikan keselamatan, kesejahteraan dan penuntun jalan menuju pembebasan (Nirvana/Nibbana). Sosok Bodhisattva-Mahasattva bukan dewa yang disembah karena kuasa, melainkan cermin kesadaran universal yang aktif mewujud dalam berbagai rupa untuk membimbing makhluk menuju pembebasan.
Prinsip utama jalan Bodhisattva adalah bodhicitta — niat murni untuk mencapai penggugahan demi menolong semua makhluk (sarvasattvānāṃ hitārthāya). Dengan demikian, Bodhisattva beroperasi bukan dalam sistem permohonan atau transaksi spiritual, melainkan sebagai ‘personifikasi dari kualitas batin tertinggi manusia’: maha welas asih (maha karuṇā) dan Kewaskitaan (prajñā).
Maka, dari perspektif Buddhadharma, memuja dewa Brahmā empat muka demi kekayaan atau keselamatan sebenarnya adalah refleksi kegelisahan (kelesah/kilesa) eksistensial yang keliru arah; sementara ‘menyadari Bodhisattva di dalam diri’ adalah bentuk spiritualitas yang matang — mengubah ketergantungan eksternal menjadi transformasi internal.
Bodhisattva Avalokiteśvara: Manifestasi Karuṇā Tanpa Batas
Dalam tradisi Mahāyāna, Avalokiteśvara (Guānyīn, Chenrezig) merupakan lambang welas asih tak terukur — aspek karuṇā dari apramāṇa. Nama Avalokiteśvara berarti ‘Dia yang mendengarkan tangisan dunia’ (Avalokita – yang melihat ke bawah, Īśvara – sang penguasa batin).
Dalam Karuṇāpuṇḍarīka Sūtra dan Lotus Sūtra (Saddharma Puṇḍarīka Sūtra, Bab 25), Avalokiteśvara dijelaskan dapat mengambil segala bentuk — dewa, manusia, anak kecil, bahkan wanita — untuk menolong makhluk sesuai kebutuhan batin mereka.
“Bila seseorang dengan penuh keyakinan memanggil nama Avalokiteśvara, ia akan mendengar dan menenangkan segala penderitaan.”
(Lotus Sūtra, Bab 25, Yayasan Tri Ratna, T.t.)
Secara psikologis, Avalokiteśvara merepresentasikan kemampuan empatik tertinggi dari kesadaran manusia: mendengarkan penderitaan tanpa penolakan, tanpa reaksi defensif.
Ia bukan sekadar sosok eksternal, melainkan energi batin mendalam yang tergerak oleh kepedulian sejati — kualitas yang sangat dibutuhkan di dunia modern yang cenderung terasing dan individualistis. Dari sudut pandang praktik, menginternalisasi Avalokiteśvara berarti menumbuhkan kemampuan untuk ‘berani hadir di mana ada penderitaan’ — baik milik sendiri maupun orang lain — tanpa kehilangan kejernihan batin. Inilah karuṇā dalam bentuk yang hidup, bukan ritualistik.
Bodhisattva Mañjuśrī: Kewaskitaan yang Memotong Avidyā
Jika Avalokiteśvara melambangkan karuṇā, maka Mañjuśrī melambangkan prajñā — ‘kewaskitaan transendental yang memotong akar kebingungan – keliru mengerti (avidyā).’
Mañjuśrī digambarkan membawa pedang api Kewaskitaan dan naskah Prajñāpāramitā di tangan kirinya, simbol kesadaran yang menembus śūnyatā.
Dalam Prajñāpāramitā Hṛdaya Sūtra, Kewaskitaan ini dijelaskan sebagai,
“menyadari bahwa semua fenomena ‘tidak berinti-diri,’ maka tiada penderitaan, tiada sebab penderitaan, tiada akhir penderitaan, tiada jalan menuju akhir penderitaan.”
(Heart Sūtra, Prajñānanda, 2010).
Kehadiran Mañjuśrī membimbing praktisi agar tidak terjebak pada sentimentalitas karuṇā semata — sebab belas kasih tanpa Kewaskitaan mudah terperangkap dalam simpati emosional yang menimbulkan kelelahan spiritual (compassion fatigue). Sebaliknya, prajñā menyeimbangkan karuṇā, membentuk welas asih yang berakar pada kewaskitaan, bukan keterikatan. Dari sisi refleksi psikologis, Mañjuśrī mengajarkan keterampilan membedakan antara penderitaan (dukkha) inheren dan penderitaan yang lahir dari persepsi keliru. Dalam konteks umat yang memuja Brahmā demi menghindari kesulitan hidup, Mañjuśrī menuntun pada Kewaskitaan menghadapi kesulitan itu dengan kesadaran, bukan dengan pelarian ritual pemujaan dan pengandalan pada sosok di luar diri.
Bodhisattva Kṣitigarbha: Tekad Menyelamatkan Makhluk dari Kegelapan
Kṣitigarbha (Jizō, Ti Tsang) adalah lambang tekad yang tak tergoyahkan untuk menolong mereka yang berada dalam kegelapan, termasuk di alam penderitaan. Dalam Kṣitigarbha Bodhisattva Pūrvapraṇidhāna Sūtra (Kṣitigarbha Sūtra, Siksananda, 2021), ia bersumpah: “Selama neraka belum kosong, aku tidak akan menjadi Buddha.”
Kṣitigarbha menampilkan karuṇā yang disertai keteguhan batin — upekkhā dalam bentuk paling berani: mampu hadir di tengah penderitaan tanpa kehilangan kejernihan. Dalam konteks tersebut, bagi umat modern yang kerap mencari keselamatan pribadi, Kṣitigarbha mengingatkan bahwa spiritualitas sejati adalah keberanian untuk turun ke bawah — menolong mereka yang tertinggal dan tersesat. Ia juga merupakan arketipe bela rasa aktif (active compassion), berbeda dengan bentuk pemujaan yang pasif. Dalam praktik kontemplatif, memeditasikan Kṣitigarbha menumbuhkan tekad batin untuk tidak berpaling dari penderitaan dunia. Kualitas ini selaras dengan semangat awal Buddhadharma: “bahujanahitāya bahujanasukhāya” (demi kebahagiaan dan kesejahteraan banyak makhluk).
Buddha Bhaiṣajyaguru: Penyembuh Lahir dan Batin
Bhaiṣajyaguru Tathāgata atau “Buddha Pengobatan” melambangkan kekuatan penyembuhan yang muncul dari kesadaran murni. Tekadnya adalah menyembuhkan segala penyakit — fisik, emosional, maupun spiritual.
“Bhaiṣajyaguru Tathāgata berikrar, semoga dengan kekuatan ikrar ini, semua makhluk yang menderita penyakit jasmani dan batin, setelah mendengar namaku, sembuh dari segala penderitaan dan mencapai ketenangan.” (Bhaiṣajyaguru Vaidūryaprabha Rāja Sūtra, Ehipassiko Foundation, 2018).
Sementara umat kerap datang ke altar Brahmā untuk memohon kesembuhan dan kemakmuran, Bhaiṣajyaguru mengajarkan arah berbeda: Penyembuhan sejati datang dari transformasi batin yang membebaskan dari akar penderitaan — rāga/lobha (rasa tidak berkecukupan), dveṣa (penolakan), dan moha (kebingungan). Simbolismenya menegaskan bahwa kebahagiaan bukan hasil permohonan, melainkan buah kesadaran yang tergugah.
Bhaiṣajyaguru adalah manifestasi mettā dan karuṇā dalam wujud penyembuh batin, bukan pemberi berkah eksternal.
Bodhisattva dan Empat Apramāṇa: Paralel Luhur
Empat apramāṇa sejatinya terejawantah dalam empat Bodhisattva agung, yang masing-masing melambangkan kualitas batin tak terukur yang hendak dikembangkan oleh praktisi.
- Mettā – Bhaiṣajyaguru: Cinta kasih yang menyembuhkan. (Meskipun Bhaiṣajyaguru lebih sering dikaitkan dengan perbuatan Karuṇā penyembuhan, Mettā (cinta kasih) adalah fondasi dan praṇidhāna (ikrar) yang mendorong-Nya untuk mewujudkan lingkungan yang damai dan sehat bagi semua makhluk—suatu manifestasi tertinggi dari keinginan agar semua makhluk bahagia.)
- Karuṇā – Avalokiteśvara: Belas kasih tanpa batas. (Avalokiteśvara mewakili aspek Karuṇā murni, yang terwujud dalam mendengarkan dan merespons penderitaan di seluruh dunia.)
- Muditā – Samantabhadra: Kegembiraan dalam kebajikan. (Samantabhadra mengajarkan sukacita simpatik yang luas, yakni kemampuan untuk bersukacita atas pencapaian dan jasa kebajikan semua Buddha dan Bodhisattva.)
- Upekkhā – Kṣitigarbha: Keseimbangan dan ketidakberpihakan di tengah penderitaan. (Kṣitigarbha, dengan tekadnya untuk bekerja di alam terendah (Naraka) tanpa terpengaruh oleh kondisi yang paling mengerikan, menunjukkan Upekkhā—keseimbangan/kesetaraan batin yang tidak terpengaruh oleh kondisi ekstrim, sehingga Karuṇā-Nya dapat diekspresikan tanpa diskriminasi.)
Sementara kewaskitaan (prajñā) yang melampaui keempatnya diwakili oleh Mañjuśrī, menuntun semuanya pada puncak kesadaran non-dual (advaya-jñāna). Keterpaduan ini menggambarkan bahwa Para Bodhisattva bukan figur pemujaan eksternal, tetapi ‘arsitek kesadaran’ yang menuntun batin menuju penggugahan sejati. Dengan demikian, arah bhāvanā Buddhadharma bukanlah mencari dewa yang memberi, melainkan menjadi welas asih dan kewaskitaan itu sendiri.
Refleksi Spiritualitas Umat: Dari Pemujaan ke Penggugahan
Pertanyaannya kini: ke mana bhāvanā (tumbuh kembang batin) umat sedang diarahkan?
“Apakah menjadi umat pemuja dewa demi kemakmuran dan keselamatan duniawi, atau menjadi umat yang membangkitkan kesadaran menuju penggugahan?”
Para Bodhisattva menunjukkan jalan penggugahan melalui transformasi batin, bukan ritual eksternal. Di sinilah perbedaan mendasar antara pemujaan Brahmā empat muka dengan pemahaman menumbuhkan Bodhicitta: Penyembahan terhadap Brahma menumbuhkan ketergantungan eksternal; Pengandalan terhadap Para Bodhisattva menumbuhkembangkan ‘daya kebajikan’ (punya) dan ‘daya pengetahuan’ (jnana) menuju batin tergugah.
Ketika umat memahami bahwa Avalokiteśvara, Mañjuśrī, Kṣitigarbha, dan Bhaiṣajyaguru adalah representasi citta (batin) sendiri, maka arah praktik bergeser dari ‘meminta’menjadi ‘menumbuhkembangkan.’ Inilah peralihan dari devosi ‘teisme’ ke laku ‘penggugahan’ — dari ketergantungan ritual ke kebangkitan spiritual.
“Bodhisattva tidak mencari Buddha di luar batinnya sendiri. Barang siapa mencari Buddha di luar batinnya, ia sesat dalam jalan.”
(Vimalakīrtinirdeśa Sūtra, terj. Dharmadīpa Ārāma, 1995)
Kutipan ini menegaskan arah yang sejati: Kebuddhaan bukanlah pencarian sosok buddha di luar diri, melainkan kesadaran yang telah hadir di dalam diri, menanti untuk disingkap. Ketika batin melek akan sifat kebuddhaannya sendiri, maka seluruh bentuk pemujaan menemukan maknanya yang terdalam — bukan lagi sebagai permohonan, melainkan sebagai cermin kontemplatif yang memantulkan terang kewaskitaan dan welas asih sejati.
BAB V
REFLEKSI TRANSFORMASI BATIN: ARAH BHĀVANĀ SEJATI MENUJU PENGGUGAHAN
Citta Bhāvanā: Menyingkap, Bukan Menambah
Dalam inti ajaran Buddhadharma, citta bhāvanā — pengembangan batin — bukanlah proses menambah sesuatu, melainkan menyingkap tabir yang menutupi kesadaran sejati (vidyā/jñāna), Kewaskitaan (prajñā) yang menembus śūnyatā. Semua simbol dan sosok yang dipuja hanyalah upāya (daya-upaya) yang membantu batin melampaui keterikatan pada bentuk dan nama.
Pemujaan terhadap sosok Brahmā Empat Muka di berbagai wilayah Asia Tenggara dalam esensinya sering dimaknai sebagai penghormatan terhadap kewaskitaan (prajna) dari segala arah dan empat kebajikan yang tak terukur (brahmavihara). Namun, ketika maknanya bergeser menjadi ritual permohonan rezeki, jodoh, atau keberuntungan, ia terjatuh menjadi transaksi ritualistik yang menjauh dari hakikat citta bhāvanā.
Arah latihan batin sejati adalah menumbuhkan empat apramāṇa (brahmavihāra) — mettā, karuṇā, muditā, dan upekkhā — sebagai cermin kebajikan universal yang membebaskan.
● Mettā meniadakan jarak antara “aku” dan “yang lain.”
● Karuṇā menguatkan kepedulian aktif terhadap penderitaan tanpa keengganan.
● Muditā membebaskan batin dari iri hati dan kompetisi.
● Upekkhā menjaga keseimbangan tanpa mati rasa, tetap peka namun tidak goyah.
Ketika keempat kualitas ini tumbuh, batin tidak lagi mencari sosok untuk disembah, melainkan memancarkan sifat ‘maha luhur’ itu sendiri: kasih yang tak terbatas ke empat arah. Sosok Brahmā Empat Muka pun menjadi simbol batin yang menatap ke segala arah dengan cinta dan kewaskitaan — bukan figur idola pemberi anugerah eksternal.
Ngalap Berkah dan Berkah Sejati
Dalam budaya Nusantara, tradisi ngalap berkah—mencari restu atau keberuntungan dari tokoh atau tempat suci—berakar pada penghargaan terhadap daya spiritual (tuah) dari tindakan luhur dan kesucian seseorang. Namun dalam perjalanan sejarah, makna ini sering bergeser menjadi harapan mendapatkan manfaat material tanpa transformasi batin.
Bila ditinjau dari perspektif Buddhadharma, berkah sejati bukanlah ‘hadiah dari luar,’ melainkan buah alami dari kebajikan batin dan tindakan selaras.
Maṅgala Sutta (Khuddakapāṭha 5) menegaskan:
“Tidak bergaul dengan orang dungu, bergaul dengan orang bijaksana, menghormati yang patut dihormati — itulah berkah utama.”
Buddha menegaskan bahwa maṅgala (berkah) muncul bukan ketika seseorang mendapatkan sesuatu, melainkan ketika ia melakukan tindakan yang selaras dengan Dharma, yakni kebajikan, kepedulian, kemurahan hati, kesabaran, dan kewaskitaan yang menumbuhkan kebahagiaan sejati bagi semua makhluk. Dalam kerangka ini, ngalap berkah sejati bukanlah mencari jimat atau anugerah ilahi, melainkan menghidupkan kebajikan dalam diri sendiri. Seorang umat Buddhis yang berbuat dengan niat tulus sesungguhnya tengah “menghimpun berkah,” karena ia menanam benih puṇya-sambhāra (pengumpulan daya kebajikan) dan jñāna-sambhāra (pengumpulan daya pengetahuan) yang menjadi pondasi bodhicitta.
Dari Pemujaan Menuju Penggugahan
Ketika arah batin dipahami sebagai pengumpulan dua daya (punya – jnana sambhara), maka pemujaan terhadap dewa atau Bodhisattva mulai bergeser dari yang awalnya sebagai bentuk ketergantungan, kemudian ditransformasi sebagai sarana untuk membangkitkan kualitas luhur seperti yang mereka simbolkan:
● Avalokiteśvara mengajarkan resonansi welas asih yang mendengar jeritan dunia.
● Mañjuśrī menyalakan pedang Kewaskitaan yang memotong kebingungan.
● Kṣitigarbha menumbuhkan keteguhan hati di tengah kegelapan samsara.
● Bhaiṣajyaguru memurnikan batin dengan menyembuhkan akar penderitaan.
Mereka bukan pemberi keselamatan, melainkan cermin dari potensi yang telah ada dalam diri setiap makhluk — tathāgatagarbha.
Sebagaimana dinyatakan dalam Dharmapada 160:
“Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri; siapa lagi yang dapat menjadi pelindung? Dengan diri yang terlatih baik, seseorang memperoleh pelindung yang sulit ditemukan.”
Maka arah akhir citta bhāvanā adalah menyalakan pelindung batin ini — vidyā yang terang, pengertian yang tak lagi mencari sandaran eksternal. Berkah sejati tidak datang ketika kita memohon, melainkan ketika kita memberi; tidak turun dari langit, melainkan tumbuh dari hati yang penuh welas asih. Di sanalah citta bhāvanā menjadi jalan pulang — menyingkap kesadaran yang bebas, welas asih yang aktif, dan kewaskitaan yang menyatu dengan kehidupan itu sendiri.
Arah Pengajaran Buddha: Jalan Pembebasan, Bukan Pengejaran Surgawi
Salah satu ciri paling khas dari pengajaran Sang Buddha adalah orientasinya yang jelas dan konsisten: sabbadukkhanirodhāya — menuju pada lenyapnya/ditanggulanginya dukkha, bukan pada pencapaian kenikmatan atau kemuliaan duniawi, bahkan yang bersifat surgawi.
Dalam Majjhima Nikāya (MN 26, Ariyapariyesanā Sutta), Sang Buddha sendiri menegaskan bahwa pencari sejati adalah mereka yang meninggalkan pencarian terhadap hal-hal yang fana — ‘yang masih dihantui lahir, tua, sakit, dan mati’ — dan berusaha mencapai yang tak lahir dan tak mati (akata Dharma, Nibbāna). Dalam konteks ini, ajaran yang mengarahkan seseorang untuk lahir di alam surga (devaloka) atau alam Brahmā (brahmaloka), walaupun disebut sebagai ‘pahala kebajikan,’ tetap termasuk dalam lingkaran saṃsāra. Ia hanyalah sugati — kelahiran bahagia yang bersifat sementara, bukan vimutti — pembebasan sejati.
Dalam Itivuttaka 109, Suddhāvāsa Sutta, Sang Buddha menegaskan:
“Para bhikkhu, bahkan kelahiran di alam Brahmā pun masih disertai dengan residu/jelantah batin (āsava). Aku katakan bahwa seseorang yang belum menanggulangi kelesah batin, masih kembali ke dunia ini lagi dan lagi.”
Pernyataan ini memperjelas arah sejati dari pengajaran Buddha: bahwa segala bentuk kelahiran, setinggi apa pun alamnya, tetap tunduk pada hukum perubahan – kemunculan dan lenyap (anicca), tetap dalam jangkauan penderitaan (dukkha), berakar pada kebingungan (moha) dan keliru mengerti (avijjā). Selama akar itu belum tercabut, batin belum mencapai nirodha — ditanggulanginya dukkha.
Dalam kerangka Mahāyāna, arah yang sama ditegaskan melalui aspirasi Bodhicitta: bahwa tujuan sejati dari jalan spiritual bukanlah kenikmatan pribadi, bahkan bukan juga pencapaian nirvana yang sunyi, melainkan realisasi penuh dari potensi kebuddhaan (anuttara-samyak-saṃbodhi), demi membebaskan semua makhluk.
Śāntideva dalam Bodhicaryāvatāra (I:8–9) menegaskan:
“Segala kebahagiaan di dunia ini lahir dari keinginan membahagiakan yang lain, segala penderitaan lahir dari keinginan membahagiakan diri sendiri.”
Maka arah Dharma yang sejati adalah jalan penggugahan — baik dipahami sebagai pencapaian magga-phala (jalan dan buah pembebasan) dalam Theravāda, maupun sebagai jalan menuju anuttara-samyak-saṃbodhi dalam Mahāyāna. Kedua jalur ini berpangkal pada prinsip yang sama: pahāna, yakni pemutusan akar kebingungan/keliru mengerti (avijjā) dan kelesah (kilesa), bukan pemenuhan keinginan halus untuk kenikmatan surgawi.
Sebagaimana ditegaskan oleh Buddha sendiri:
“Dhamma ini, para bhikkhu, diajarkan untuk pelepasan (nissaraṇa), bukan untuk menggenggam atau menginginkan (upadhi-ggāha).”
(MN 29, Mahāsāropama Sutta).
Kalimat ini menjadi penanda arah sejati Buddhadharma: setiap praktik, pemujaan, atau perenungan hanya bernilai sejauh mengantar pada pelepasan — terbebas dari kecenderungan mencengkeram, dari haus untuk “menjadi” atau “memiliki.” Bila Dhamma disalahpahami sebagai sarana untuk mendapatkan sesuatu, bahkan kebajikan atau surga sekalipun, maka ia telah kehilangan ruh pembebasannya. Oleh karena itu, penghayatan Dhamma yang benar adalah berbalik dari keinginan menuju kewaskitaan, dari penumpukan menuju pelepasan, dari pencarian ke luar menuju pemahaman di dalam. Inilah inti ajaran yang menuntun makhluk keluar dari lingkaran penderitaan: nissaraṇa — pelolosan, kebebasan sejati dari segala kecengkeraman batin.
Dengan demikian, meskipun ajaran Sang Buddha mengakui keberadaan surga dan alam Brahmā sebagai hasil karma baik, namun keduanya bukanlah tujuan akhir. Pencarian yang berhenti pada hal itu disebut micchāpaṭipadā — jalan yang keliru karena masih terjebak dalam pengejaran hasil. Sebaliknya, sammāpaṭipadā — jalan yang selaras dengan Dharma — selalu mengarah pada vimutti (kebebasan) dan bodhi (penggugahan). Dalam kerangka ini, pemujaan kepada dewa atau Brahmā, walaupun berakar dari teks Dharma, perlu dipahami hanya sebagai upāya (daya-upaya) untuk membangkitkan kualitas luhur batin — bukan sebagai jalan menuju pembebasan itu sendiri.
BAB VI
PENUTUP : JALAN PULANG KE DALAM
Ketika pemujaan Brahmā dilakukan tanpa penjelasan konteks, umat awam mudah terjebak pada bentuk sinkretisme yang memperkuat pandangan salah (miccaditthi). Ritus semacam ini, bila tidak disertai pendidikan Dharma yang benar, berpotensi memperkuat silabbata-parāmāsa — keterikatan terhadap ritual yang diyakini sebagai tujuan spiritual (jalan pembebasan), yang secara eksplisit disebut Sang Buddha sebagai penghalang pencapaian Nibbāna (MN 27, Cūḷahatthipadopama Sutta).
Tanggung Jawab Sangha, Para Pandita dan Umat Terpelajar
Sangha, Pandita, Dharmaduta dan kaum terdidik Buddhis memiliki peran etis untuk menjaga kemurnian arah spiritual umat. Dalam Aṅguttara Nikāya (AN 2.25), Sang Buddha menegaskan bahwa Dharma akan lenyap bukan karena kekuatan luar, tetapi karena “mereka yang berada di dalamnya tidak lagi menghormati dan memahami Dharma sebagaimana mestinya.”
Oleh karena itu, keterlibatan Sangha dalam upacara pemujaan Brahmā sepatutnya ditinjau ulang dalam bingkai tanggung jawab pendidikan, bukan hanya legalitas seremonial. Bila kehadiran bhikkhu dimaksudkan untuk memberikan berkah, maka berkah tertinggi yang selaras dengan Dharma (paramaṃ puññaṃ) adalah pembimbingan menuju pandangan terang, bukan penguatan keyakinan duniawi melalui ritual-ritual ngalap berkah yang dianggap sebagai wujud kesalehan religius.
Bhāvanā sejati bukanlah menambah sesajen di altar, melainkan memperbanyak keheningan di hati. Bukan memperluas pemujaan, tetapi memperluas kesadaran.
Ketika empat apramāṇa telah hidup, moha (kebingungan) memudar, dan prajñā (kewaskitaan) bersinar, setiap tindakan menjadi persembahan sejati bagi seluruh makhluk.
Sebagaimana Dharmapada 183 menegaskan:
“Tidak berbuat jahat, menumbuhkan kebajikan, dan memurnikan batin — inilah ajaran Para Buddha.”
Jalan penggugahan adalah jalan melihat ke dalam, bukan mencari keluar. Ia bermula dari keheningan, tumbuh dalam welas asih (karuna), dan berbuah dalam kewaskitaan (prajna). Berkah sejati ditemukan bukan di altar, melainkan di batin yang sadar dan tak lagi mencengkeram (upadana) pemuasan panca skandha.
_________________________
*Peneliti Institut Nagarjuna
Daftar Pustaka
Sutta-sutta (Pali)
Aṅguttara Nikāya (AN): Indonesia Tipitaka Center. (T.t.). Anguttara Nikaya: Khotbah-khotbah Numerik Sang Buddha. Yayasan Vicayo Indonesia.
Dharmapada: Dharmadhīro Mahāthera, B. (2018). Pustaka Dharmapada Pāli – Indonesia (Cetakan ke-3). Saṅgha Theravāda Indonesia.
Dīgha Nikāya (DN): Walshe, M. (2009). Khotbah-khotbah Panjang Sang Buddha: Dīgha Nikāya. DharmaCitta Press.
Itivuttaka (It): Indonesia Tipitaka Center. (T.t.). Itivuttaka: Demikianlah Yang Telah Dikatakan. Yayasan Vicayo Indonesia.
Majjhima Nikāya (MN): Ñāṇamoli, B., & Bodhi, B. (2013). Khotbah-khotbah Menengah Sang Buddha: Majjhima Nikāya. DharmaCitta Press.
Saṃyutta Nikāya (SN): Indonesia Tipitaka Center. (T.t.). Samyutta Nikaya: Khotbah-khotbah Berkelompok Sang Buddha. Yayasan Vicayo Indonesia.
Suttanipāta (SNp): Indonesia Tipitaka Center. (T.t.). Suttanipata: Kumpulan Khotbah. Yayasan Vicayo Indonesia.
Sutra-sutra (sanskrit)
Bhaiṣajyaguru Vaidūryaprabha Rāja Sūtra: Vajra Bhumi Sriwijaya. (2018). Sutra Buddha Pengobatan: Bhaiṣajyaguru Vaidūryaprabha Rāja Sūtra. Penerbit Ehipassiko Foundation.
Heart Sūtra (Prajñāpāramitā Hṛdaya Sūtra): Prajñānanda, S. P. (2010). Sutra Intisari Prajñāpāramitā Hṛdaya (Edisi Kedua). Yayasan Satya Dharma.
Kṣitigarbha Bodhisattva Pūrvapraṇidhāna Sūtra: Siksananda, S. (2021). Sutra Ksitigarbha: Sutra Ikrar Agung Bodhisattva Ksitigarbha. Diandharma.org.
Lotus Sūtra (Saddharma Puṇḍarīka Sūtra): Indonesia, F. (T.t.). Saddharma Pundarika Sutra: Sutra Teratai Dharma yang Menakjubkan. Yayasan Tri Ratna.
Śūraṅgama Sūtra: Luk, C. (T.t.). Sutra Śūraṅgama. Penerbit Karaniya.
Vimalakīrtinirdeśa Sūtra: Thurman, R. A. F. (1995). Vimalakirti Nirdesa Sutra: Ajaran Mulia Vimalakirti. Yayasan Dharmadipa Arama.










