
Di candi-candi ini, Gayatri diabadikan dalam bentuk arca Prajnaparamita, perwujudan kebijaksanaan transendental dalam ajaran Mahayana. Arca tersebut menampilkan sosok duduk bersila di atas padmasana, dengan tangan membentuk sikap dharmacakra-mudra, simbol pengajaran dharma. Kehalusan pahatannya, kelembutan wajahnya, dan aura ketenangan yang memancar membuat arca ini dianggap mahakarya seni pahat Majapahit.
Gayatri Rajapatni: Mastermind Politik di Balik Kejayaan Majapahit
oleh Eddy Setiawan*
Putri Raja Penggemar Sastra dan Agama
Gayatri adalah putri Raja Kertanegara, penguasa terakhir Singhasari, yang terkenal sebagai penganut fanatik ajaran Siwa-Buddha. Sumber-sumber seperti Slamet Muljana (2006) dan Pigeaud (1960) menegaskan bahwa lingkungan istana Kertanegara sarat dengan pemikiran sinkretik, namun Kertanegara sendiri memberi porsi istimewa pada ajaran Buddha Mahayana, khususnya pemujaan Bodhisattva. Sejak muda, Gayatri dibesarkan dalam atmosfer ini dan menunjukkan kecenderungan kuat pada nilai-nilai Buddhis, yang kelak memengaruhi seluruh kiprahnya.
Melepaskan Tahta demi Jubah Bhiksuni
Sebagai istri Raden Wijaya, pendiri Majapahit, Gayatri berhak atas posisi ratu utama. Namun, ia mengambil keputusan yang jarang diambil bangsawan perempuan kala itu: melepaskan kesempatan menjadi penguasa langsung dan memilih menjadi bhiksuni. Meski demikian, tradisi Buddhis tidak melarang bhiksuni untuk kembali ke kehidupan duniawi, sehingga secara teknis ia tetap dapat menjadi ratu jika mau. Gayatri memilih tetap memegang sila bhiksuni, dan mengarahkan pengaruhnya melalui jalur politik tidak langsung—mempromosikan putrinya, Tribhuwana Tunggadewi, ke tahta Majapahit.
Pengaruh Politik sebagai Bhiksuni
Sebagai bhiksuni, Gayatri tidak mundur dari arena politik. Ia menguasai seni “penyatuan tanpa peperangan” di beberapa wilayah Nusantara, terutama dengan menggunakan agama dan kebudayaan sebagai sarana. Di wilayah yang cenderung menerima pengaruh Buddhis—seperti Bali, yang mengenal tradisi Siwa-Buddha—diplomasi keagamaan menjadi instrumen efektif. Upaya ini berjalan seiring visi Cakravartin yang diwarisi dari Kertanegara: seorang penguasa universal yang menyatukan wilayah bukan semata lewat kekuatan senjata, tetapi lewat legitimasi spiritual.
Gajah Mada, yang telah dikenal keluarga Gayatri sejak masa Singhasari, kemungkinan besar adalah hasil kaderisasi lingkungan istana Kertanegara. Visi penyatuan Nusantara yang terkenal dalam Sumpah Palapa sejalan dengan idealisme Gayatri, menandakan adanya kesinambungan ideologis antara keduanya.
Raden Wijaya memulai Majapahit dengan kebijakan yang relatif toleran terhadap berbagai agama, melanjutkan pola Singhasari. Tribhuwana, di bawah bimbingan Gayatri, memperkuat posisi agama Buddha di istana tanpa menghilangkan unsur Siwaisme. Model ini menciptakan harmoni keagamaan yang menjadi perekat bagi wilayah-wilayah yang memiliki tradisi berbeda.
Pujian dalam Negarakretagama
Mpu Prapanca dalam Negarakretagama (Canto 48–49) memuji Gayatri Rajapatni sebagai sosok yang bijak, penuh kasih, dan menjadi sumber kebahagiaan rakyat:
“Baginda Sri Rajapatni, bagaikan Dewi Prajnaparamita di dunia,
lemah lembut budi pekertinya, teguh dalam dharma,
penuh belas kasih terhadap rakyat,
melindungi semua tanpa pandang bulu,
bagai pelita yang tiada padam.”
Warisan Abadi dan Arca Prajnaparamita
Gayatri Rajapatni wafat pada tahun 1350. Namun, pengaruhnya tidak berhenti di situ. Pada 1362, cucunya Hayam Wuruk menggelar upacara Śraddhā yang megah untuk mengenang 12 tahun kematian sang nenek. Sebagai penghormatan tertinggi, Hayam Wuruk memerintahkan pembangunan dua candi—Prajñaparamitapuri dan Wisesapura—untuk mendharmakan Gayatri.
Di candi-candi ini, Gayatri diabadikan dalam bentuk arca Prajnaparamita, perwujudan kebijaksanaan transendental dalam ajaran Mahayana. Arca tersebut menampilkan sosok duduk bersila di atas padmasana, dengan tangan membentuk sikap dharmacakra-mudra, simbol pengajaran dharma. Kehalusan pahatannya, kelembutan wajahnya, dan aura ketenangan yang memancar membuat arca ini dianggap mahakarya seni pahat Majapahit. Sayang belakangan, narasi yang tidak dilandasi bukti mengaitkan arca dengan Ken Dedes, sehingga masyarakat awam salah paham mengenai hal ini.
Hingga kini, kisah Gayatri Rajapatni tetap relevan, menjadi bukti bahwa di balik kejayaan besar sering berdiri seorang mastermind visioner yang bekerja dalam diam—menggunakan kebijaksanaan spiritual untuk membentuk sejarah politik.
Bacaan Lanjutan
Cœdès, G 1968, The Indianized States of Southeast Asia, University of Hawaii Press, Honolulu.
Muljana, S 2006, Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit, LKiS, Yogyakarta.
Pigeaud, TGTh 1960, Java in the 14th Century, Martinus Nijhoff, The Hague.
Pranidhi, D, Santoso, WM & Siscawati, M 2022, ‘Otoritas Perempuan dan Religiusitas Gayatri Rajapatni’, Dharmasmrti, vol. 22, no. 1, hlm. 1–8.
Prapanca, Mpu 1979, Negarakretagama, terj. Slamet Muljana, Bhratara, Jakarta.
Sumber: Gayatri Rajapatni: Mastermind Politik di Balik Kejayaan Majapahit










