Refleksi Humanis: “Childfree” sebagai Jalan Welas Asih (2/2)
Sebuah Upadeśa tentang Saṁvara, Naiṣkramya, dan Niḥsaraṇa
dalam Perenungan Etis atas Kelahiran
Oleh Eko Nugroho R*
Kegagalan Kolektif: Bukti Karma Sosial yang Terabaikan
Jika di tingkat pribadi dorongan memiliki anak sering berakar pada ego, maka di tingkat sosial dorongan kolektif untuk terus mereproduksi tanpa pertimbangan etis telah menciptakan bentuk penderitaan struktural yang lebih luas.
Saat kita menatap dunia di sekeliling kita, jelaslah bahwa yang kurang bukanlah jumlah anak, melainkan kualitas lingkungan dan orang dewasa yang bertanggung jawab untuk membesarkan mereka. Setiap penderitaan sosial adalah gema dari karma kolektif yang belum disembuhkan; di sinilah keputusan untuk tidak menambah kehidupan baru menemukan pijakan etikanya yang paling manusiawi.
Kita melihat anak-anak yang lahir dalam bayang-bayang kemiskinan ekstrem, berjuang melawan stunting atau kekurangan gizi sejak hari pertama. Apakah meneruskan kehidupan di bawah tekanan sedemikian rupa adalah tindakan cinta? Bukankah welas asih sejati menuntut kita untuk menahan diri dari menciptakan penderitaan baru yang sesungguhnya bisa dihentikan? Selain itu, anak-anak yang lahir saat ini akan mewarisi krisis iklim yang tak mereka ciptakan. Beban eksistensial ini, di mana mereka dipaksa menghadapi realitas yang semakin tidak masuk akal dan rentan (Camus, The Myth of Sisyphus, 1991), seharusnya menjadi pertimbangan etis kita.
Dan yang paling menyakitkan, data kasus KDRT dan kekerasan seksual menunjukkan kegagalan paling mendasar: anak-anak seringkali tidak aman di rumah mereka sendiri. Mereka yang terlantar atau menjadi korban adalah manifestasi konkret dari kegagalan moral orang dewasa yang meminta kehadiran mereka di dunia tanpa kesiapan yang memadai.
Upadeśa Reflektif: Menemukan Kedamaian dalam Jalan Menahan Diri
Keputusan untuk menahan diri dari melahirkan anak dapat dibingkai bukan sebagai penolakan terhadap kehidupan, melainkan sebagai sebuah perjalanan spiritual menuju kejernihan dan kebebasan batin. Dalam perspektif Dharma, keputusan ini dapat dipahami melalui tiga pilar praktik batin: Saṁvara (Pengendalian) → Naiṣkramya/Nekkhamma (Pelepasan) → Niḥsaraṇa (Pembebasan). Ketiganya membentuk alur pengolahan batin dari penahanan dorongan menuju keluasan kewaskitaan — dari disiplin menuju welas asih, dan akhirnya menuju pembebasan.
1. Saṁvara (Pengendalian yang Berwelas Asih)
Saṁvara berarti pengendalian atau penjagaan diri. Secara etimologis, Saṁvara berarti “menutup” atau “menghindari” masuknya āsava (arus kelesahan batin) dan kamma buruk baru. Dalam praktik Dharma, Saṁvara bukan pengekangan kaku yang menolak kehidupan, melainkan kecakapan batin untuk menahan arus dorongan sebelum berubah menjadi tindakan yang menimbulkan penderitaan bagi diri maupun makhluk lain.
Ia muncul bukan dari rasa takut, melainkan dari kejernihan dan welas asih yang ingin mencegah penderitaan sejak akar. Karena itu, Saṁvara sering disebut sebagai “pengendalian yang lembut”: sebuah penjagaan batin yang penuh cinta.
Buddha menegaskan pentingnya indriya-saṁvara, yaitu penjagaan pintu-pintu indra. Dalam Saṃyutta Nikāya 35.120 (Indriya-bhāvanā Sutta), Beliau bersabda:
“Ketika seseorang melihat suatu bentuk, mendengar suara, mencium bau, mengecap rasa, menyentuh sentuhan, atau memikirkan pikiran, ia tidak berpegang pada tanda atau rincinya.”
Artinya, Saṁvara bukan menolak dunia, melainkan berada di tengah dunia tanpa terseret olehnya. Dalam konteks childfree, Saṁvara dapat dimaknai sebagai pengendalian diri dari dorongan sosial atau emosional untuk “memiliki” keturunan demi status, kebanggaan, atau validasi sosial. Ini adalah bentuk pengendalian yang welas asih — bukan karena menolak kehidupan, tetapi karena menghormati kehidupan dengan kesadaran penuh akan konsekuensinya.
Saṁvara juga merupakan dasar dari sīla (ketaatan moral). Tanpa pengendalian, tindakan kita mudah didorong oleh lobha, dosa, dan moha — tiga arus besar kelesah batin yang menciptakan penderitaan baru. Maka Saṁvara adalah tindakan preventif spiritual, menjaga kebebasan batin di tengah dunia yang terus menuntut reaksi.
2. Naiṣkramya/Nekkhamma (Pelepasan dengan Kewaskitaan)
Naiṣkramya berarti pelepasan, atau keinginan untuk meninggalkan kenikmatan dan Pencengkeraman duniawi demi kebajikan batin yang lebih tinggi. Naiṣkramya adalah fase kedua, di mana pengendalian (Saṁvara) bertransformasi menjadi kewaskitaan aktif (Pelepasan). Itivuttaka 2.7 menyebut pelepasan sebagai bentuk kebahagiaan tertinggi (nekkhamma-sukha).
Dalam wacana Dharma, Naiṣkramya/Nekkhama sering dipahami secara sempit sebagai keputusan monastik. Namun, makna hakikinya jauh lebih dalam: menurut Majjhima Nikāya 75 (Māgandiya Sutta), pelepasan bukanlah penolakan terhadap kenikmatan, melainkan pemahaman mendalam terhadap sifatnya yang tidak memuaskan dan menimbulkan belenggu. Naiṣkramya adalah keberanian batin untuk melepaskan Pencengkeraman pada dorongan-dorongan yang memperbudak diri, entah berupa nafsu, kepemilikan, atau delapan urusan duniawi (lokaDharma).
Seseorang yang memilih childfree karena menyadari keterbatasannya, sedang mempraktikkan Naiṣkramya dalam bentuk paling duniawi: melepaskan sesuatu yang tampak “baik” secara sosial demi tidak menambah penderitaan. Ini selaras dengan ajaran: “Dengan meninggalkan kebahagiaan kecil, orang bijak melihat kebahagiaan besar” (Dharmapada 290). Pelepasan ini mengubah energi prokreasi menjadi karuna yang universal.
3. Niḥsaraṇa (Gerak Keluar Menuju Kebebasan Sejati)
Niḥsaraṇa secara harfiah berarti “keluar,” “menyingkir,” atau “pembebasan.” Ini adalah fase puncak setelah Saṁvara menahan dan Naiṣkramya melepaskan. Niḥsaraṇa adalah realisasi final—gerak batin yang meninggalkan pencarian duniawi menuju pencarian yang mulia (Ariyapariyesanā Sutta, MN 26).
Jika Saṁvara adalah menahan arus dan Naiṣkramya adalah melepaskan beban, maka Niḥsaraṇa adalah melangkah keluar dari pusaran arus itu sendiri. Dalam Saṃyutta Nikāya 38.1 (Samiddhi Sutta), Buddha menyebut nissaraṇa sebagai “keluar dari nafsu, keluar dari kebingungan, keluar dari kelahiran dan kematian.” Ini bukan tindakan fisik melarikan diri, melainkan transformasi batin: dari identifikasi “aku dan milikku” menuju pemahaman bahwa semua fenomena muncul dan lenyap tanpa inti yang dapat dicengkeram.
Dalam konteks childfree, Niḥsaraṇa dapat tampak sebagai puncak kewaskitaan reflektif—melihat bahwa melahirkan bukan semata tindakan biologis, tetapi keputusan moral dan eksistensial yang menuntut kewaskitaan mendalam. Ini adalah keberanian spiritual untuk memutuskan lingkaran ego yang ingin menciptakan kehidupan sebagai perpanjangan dirinya, sebuah keputusan yang mengakui bahwa penderitaan bukan hanya harus diterima, tetapi juga harus dihentikan penyebarannya. Ini adalah pembebasan sejati dari ilusi keabadian melalui garis keturunan, menempatkan fokus pada kelapangan batin yang membebaskan di sini dan saat ini.
Adopsi dan Pengasuhan: Mengalirkan Karuna pada Kehidupan yang Sudah Ada
Jika keputusan childfree adalah bentuk pencegahan penderitaan (Dukkha) baru, maka tindakan adopsi atau pengasuhan (fostering) adalah manifestasi Karuna (welas asih) yang paling aktif dan nyata. Welas asih sejati menuntut kita untuk menanggapi penderitaan yang sudah ada. Mengadopsi atau menjadi orang tua asuh bagi anak-anak terlantar bukan sekadar amal, melainkan sebuah pernyataan etis bahwa energi kasih sayang dan sumber daya kita diarahkan untuk memperbaiki kegagalan kolektif masyarakat.
Anak-anak tak terabaikan, terlantar, yang membutuhkan rumah—korban dari krisis kemiskinan, perang, atau kegagalan keluarga—adalah bukti konkret dari Dukkha yang diciptakan oleh dorongan reproduksi tanpa pertimbangan. Dengan memilih memberikan cinta, waktu, dan sumber daya kepada anak yang sudah lahir, seseorang tidak lagi didorong oleh Bhava-taṇhā (keinginan melanjutkan diri melalui darah), melainkan oleh niat murni untuk mengurangi penderitaan makhluk lain.
Ini mengubah narasi: dari keharusan biologis menjadi pilihan moral tertinggi. Pengasuhan sejati, yang terlepas dari ikatan darah, adalah tindakan spiritual yang jauh lebih tinggi. Tindakan ini membalikkan logika egoistik dan menyalurkan energi prokreasi (energi kehidupan) menjadi pelayanan (bodhisattva-carya), menjadikan childfree bukan sebagai ketiadaan, tetapi sebagai ruang batin yang sengaja dikosongkan untuk diisi oleh kasih sayang universal. Pengasuhan sejati terwujud lewat kehadiran yang tulus untuk mengurangi Dukkha.
Bagaimana Jika ‘Kecelakaan’ Kelahiran Sudah Terlanjur Terjadi?
Inilah pertanyaan paling menohok, sebuah dilema moral yang mengubah fokus etika dari pencegahan menjadi penebusan eksistensi yang telah terlanjur tercipta. Ketika kesadaran etis datang terlambat, dan ‘kecelakaan’ kelahiran—keputusan tanpa refleksi mendalam—telah mewujudkan seorang anak dengan potensi penderitaan tinggi (keterbatasan ekonomi, masalah genetik, atau ketidakmampuan orang tua memenuhi tanggung jawab Brahmā), Karuna menuntut konsistensi moral yang total. Welas asih tidak dapat dihentikan; ia hanya berubah bentuk dari penahanan menjadi penjagaan yang penuh kesadaran dan tanpa pamrih (Metta-Karuna). Energi batin yang sebelumnya disiapkan untuk menahan diri (Saṁvara) kini harus disalurkan secara masif untuk mengurangi penderitaan (Dukkha) yang sudah terwujud.
Tanggung jawab moral dan spiritual tidak dapat digeser dengan alasan ‘takdir’ atau ‘karma’. Sebaliknya, orang tua dipanggil untuk menerima dengan jujur bahwa mereka adalah sebab utama dari Jāti (kelahiran) anak tersebut, dan oleh karenanya bertanggung jawab penuh atas setiap rantai penderitaan (Jarā-maraṇa) yang mungkin mengikutinya. Di sinilah ketiga pilar praktik batin bertransformasi menjadi Bodhisattva-carya di ruang lingkup rumah tangga:
1. Saṁvara (Pengendalian) bertransformasi menjadi Viriya (Semangat dan Upaya sungguh-sungguh). Ini adalah samma-vayama (daya upaya selaras) yang tanpa henti, bukan sekadar menjamin materi, melainkan perjuangan batin melawan ego yang lelah, menumbuhkan benteng sekaigus kecerdasan emosional dan pendidikan terbaik bagi anak. Viriya adalah komitmen tanpa kompromi/totalitas untuk memperbaiki kegagalan spiritual dan materi yang melatarbelakangi kelahiran tersebut.
2. Naiṣkramya (Pelepasan) bertransformasi menjadi Dāna (Kemurahan Hati dan Pengorbanan Total). Pelepasan hasrat untuk hidup bebas atau mencapai cita-cita pribadi kini digantikan oleh pengorbanan harian yang konstan. Ini adalah Dāna waktu, energi, dan sumber daya, melepaskan citra diri yang diinginkan demi kepentingan mutlak makhluk yang kita ciptakan.
3. Niḥsaraṇa (Pembebasan) bertransformasi menjadi Kṣanti (Kesabaran dan Ketahanan Batin). Kesabaran mutlak untuk menanggung kesulitan pengasuhan, menghadapi penderitaan anak (baik fisik maupun psikis), dan menerima rasa bersalah eksistensial sebagai jalan penebusan. Kṣanti adalah penerimaan damai atas beban karma yang telah diciptakan, menjadikan pengalaman hidup sebagai jalan dan sarana pembebasan bagi anak dari belenggu penderitaan.
Inilah puncak dari welas asih: tanggung jawab tanpa syarat atas konsekwensi tindakan menciptakan, mengubah penyesalan menjadi tanggung jawab spiritual tertinggi.
Penutup: Kedamaian dalam Keputusan yang Disengaja
Keputusan childfree yang didukung oleh Saṁvara, Naiṣkramya, dan Niḥsaraṇa bukanlah bentuk keputusasaan, melainkan kewaskitaan mendalam yang diwujudkan dalam kehidupan nyata. Itu adalah realisasi yang penuh kesadaran bahwa hidup ini sudah cukup penuh dengan Duhkha inheren. Tidak perlu menambahnya dengan keputusan yang lahir dari ego, kebodohan, atau ketaatan buta pada tradisi (Dīgha Nikāya, Mahāsatipaṭṭhāna Sutta, DN 22).
Kita semua yang kini telah dewasa, pernah menjadi anak-anak — makhluk kecil yang sepenuhnya bergantung pada dunia dan orang-orang di sekitarnya. Jika kita berhenti sejenak dan menempatkan diri kita kembali dalam posisi itu, seolah kita adalah anak yang lahir di dunia masa kini, pertanyaan yang muncul begitu sederhana namun patut direnungkan: Apakah diri kita yang kanak-kanak itu akan merasa aman, nyaman, dan memiliki ruang untuk tumbuh dengan utuh di tengah dunia seperti sekarang ini? Apakah lingkungan sosial, ekologis, dan moral yang telah kita bangun benar-benar layak menjadi tempat bernaung bagi kehidupan baru?
Dan jika kita tak bisa menjawabnya dengan keyakinan jujur, siapa yang dapat menjamin bahwa setiap anak yang lahir hari ini akan memperoleh kesempatan untuk hidup sejahtera dan berkembang sepenuhnya sebagai manusia? Pertanyaan ini bukan sekadar renungan sentimental, melainkan ujian batin yang menyingkap sejauh mana kita telah bertanggung jawab atas dunia yang kita wariskan. Dari titik inilah keputusan untuk tidak melahirkan dapat dipahami bukan sebagai penolakan terhadap kehidupan, tetapi sebagai bentuk welas asih yang sadar — langkah mundur yang penuh tanggung jawab dari siklus keinginan yang belum terselidiki.
Memilih untuk tidak punya anak, dalam konteks ini, adalah jalan welas asih yang paling jernih—bagi diri sendiri (agar terbebas dari tuntutan peran yang tidak siap diemban), bagi dunia (agar tidak menambah beban penderitaan yang tak terurus), dan yang terpenting, bagi potensi makhluk baru yang akan hidup setelah kita, agar terhindar dari penderitaan yang tidak perlu. Dalam keputusan untuk menahan diri dari melahirkan, seseorang tidak sedang menolak kehidupan, melainkan sedang memeluknya dengan cara yang lebih luas: dengan tanggung jawab, dengan kesadaran, dan dengan kasih sayang yang tak terbatas pada darah dan nama.
Daftar Pustaka
Benatar, D. (2006) Better Never to Have Been: The Harm of Coming into Existence. Oxford: Oxford University Press.
Camus, A. (1991) The Myth of Sisyphus and Other Essays. New York: Vintage Books.
Donath, O. (2017) Regretting Motherhood: A Study. California: North Atlantic Books.
Gillespie, R. (2003) ‘Childfree and Feminine: Understanding the Gender Identity of Voluntarily Childless Women’, Gender & Society, 17(1), pp. 122–136.
Park, K. (2005) ‘Choosing Childlessness: Weber’s Typology of Action and Motives of the Voluntarily Childless’, Sociological Inquiry, 75(3), pp. 372–402.
Sartre, J.-P. (2007) Existentialism is a Humanism. London: Yale University Press.
Tim Penterjemah Kitab Suci Sutta Piṭaka (tanpa tahun) Khotbah-khotbah Panjang Sang Buddha (Dīgha Nikāya). Jakarta: DharmaCitta Press/Yayasan Pendidikan dan Penerbitan Lembaga-Lembaga Buddhis Indonesia.
Tim Penterjemah Kitab Suci Sutta Piṭaka, (tanpa tahun), Khotbah-khotbah Berkelompok (Saṁyutta Nikāya). Jakarta: DhammaCitta Press.
Tim Penterjemah Kitab Suci Sutta Piṭaka, (tanpa tahun), Khotbah-khotbah Menengah Sang Buddha (Majjhima Nikāya). Jakarta: DharmaCitta Press.
Tim Penterjemah Kitab Suci Sutta Piṭaka, (tanpa tahun), Sutta Piṭaka Khuddaka Nikāya: Itivuttaka. Jakarta: DharmaCitta Press.
Tim Penterjemah Kitab Suci Sutta Piṭaka, (tanpa tahun), Sutta Piṭaka Khuddaka Nikāya: Dharmapada. Jakarta: DharmaCitta Press.
Yonathan, M & Primadini, I, “Childfree Men: The Reasons Behind the Decision”, Jurnal Komunikasi ISKI, Vol. 8, No. 2, pp. 349-358.











