Refleksi Humanis: “Childfree” sebagai Jalan Welas Asih (1/2)
Sebuah Upadeśa tentang Saṁvara, Naiṣkramya, dan Niḥsaraṇa
dalam Perenungan Etis atas Kelahiran
Oleh Eko Nugroho R*
Pendahuluan
Di tengah derasnya arus budaya yang menempatkan kelahiran sebagai tanda keberhasilan hidup, istilah childfree—memilih untuk tidak memiliki anak—sering disalahpahami sebagai penolakan dingin terhadap hangatnya kehidupan. Namun, bagi sebagian orang, keputusan ini bukanlah bentuk penolakan picik, melainkan hasil dari sebuah perenungan sunyi yang mendalam, sebuah gerakan batin yang justru berakar pada kasih sayang yang paling murni. Kami memilih memandangnya bukan sekadar sebagai label gaya hidup modern, melainkan sebagai tindakan etis-spiritual yang mengundang kita pada perenungan mendalam tentang tanggung jawab eksistensial.
Fenomena childfree bukanlah sekadar tren demografis, melainkan sebuah gema kesadaran yang semakin tumbuh di mana keputusan untuk tidak melahirkan dipertimbangkan melalui lensa yang kompleks: bukan semata soal pertimbangan ekonomi atau lingkungan, tetapi juga spiritual. Kata Upadeśa (Skt.) dalam tradisi Buddhadharma berarti ‘nasihat spiritual’ atau ‘bimbingan/tuntunan berupa petunjuk langsung yang praktis dan reflektif yang muncul dari pengalaman batin mendalam.’
Dalam konteks ini, childfree dibaca bukan sebagai wacana sosial belaka, melainkan sebagai Upadeśa Batin—sebuah renungan yang menuntun kita pada kejernihan batin, welas asih dan pelepasan. Barangkali inilah momen unik dalam sejarah, di mana umat manusia diajak merenung lebih jauh: apakah memberi kehidupan selalu harus diartikan sebagai melahirkan tubuh baru? Ataukah memberi kehidupan juga bisa berarti menjaga dan mengalirkan kehidupan yang sudah ada—menawarkan uluran tangan kepada mereka yang telah hadir, mencegah penderitaan baru yang bisa dihindari, dan menumbuhkan welas asih dan kepedulian di tengah kekacauan dunia?
Dalam keheningan perenungan itulah, childfree menjelma menjadi wujud welas asih sejati yang kadang diwujudkan bukan melalui tindakan menambah, tetapi melalui kesediaan untuk menahan diri (Saṁvara). Inilah langkah pertama dari jalan pelepasan (Naiṣkramya – melepaskan hasrat duniawi) dan gerak keluar dari pusaran Saṃsāra yang membelenggu (Niḥsaraṇa – menuju kebebasan sejati), menjadikannya manifestasi Karuna tertinggi.
Punya Anak: Menimbang Hasrat Egoistik di Balik Cinta
Secara kolektif, masyarakat memandang kelahiran sebagai fase hidup yang ‘normal’ dan wajib. Keinginan untuk punya anak kerap dibingkai dalam narasi luhur: pelengkap rumah tangga, jaminan hari tua, atau pewaris nama baik. Namun, ketika kita menyelaminya lebih dalam, dorongan ini seringkali didominasi oleh motif yang sangat terpusat pada diri sendiri: Bagi banyak orang, memiliki anak tampak seperti cara alami untuk melanjutkan kehidupan, mewariskan nilai, atau sekadar mengikuti arus kelaziman hidup rumah tangga – bekeluarga akan sempurna dengan kehadiran anak. Namun tanpa keheningan refleksi, niat yang tampak mulia ini dapat berubah menjadi dorongan halus untuk mencari validasi—agar hidup terasa “utuh” karena ada seseorang yang lahir dari diri kita. Dalam ketidaksadaran seperti itu, anak sering kali menjadi perpanjangan citra diri, bukan pribadi merdeka yang tumbuh dengan caranya sendiri.
Bhava-taṇhā dan Upādāna: Akar Pencengkeraman Keberadaan
Di dalam lingkaran sebab-musabab (paṭiccasamuppāda), Buddha menunjukkan bahwa kelahiran tidak terjadi begitu saja, melainkan muncul karena taṇhā—kehausan batin yang mendambakan keberadaan. Kehausan ini memiliki bentuk paling halus, yaitu Bhava-taṇhā, keinginan untuk “menjadi” atau “melanjutkan diri.”
Bila direnungkan, keputusan untuk memiliki anak kerap lahir dari dorongan ini: keinginan untuk mengekalkan “aku,” agar jejak “diri” tidak lenyap, agar hidup “terasa berarti” melalui keberlanjutan. Dalam pandangan Dharma, Bhava-taṇhā adalah benih kelahiran kembali (jāti).
Selanjutnya, Upādāna (Pencengkeraman) ini menguat menjadi Upādāna. Upādāna bukan sekadar penempelan pasif, melainkan gerakan aktif batin untuk menggenggam erat objek hasrat tersebut. Mencengkeram ide untuk “memiliki” anak, “memiliki” garis keturunan, atau “memiliki” masa depan yang terjamin, adalah manifestasi dari Upādāna yang tak terhindarkan.
Konsekuensi langsung dari Pencengkeraman ini adalah munculnya “menjadi/mewujud” (Bhava), yaitu kondisi yang menyebabkan “kelahiran” (Jāti) kembali, sehingga memperpanjang “penderitaan” (Duhkha) dalam Saṃsāra.
Mengenai hubungan ini, Sang Buddha bersabda (Saṃyutta Nikāya 12.1, Paṭiccasamuppāda Sutta):
“Dengan Pencengkeraman (Upādāna) sebagai kondisi, Menjadi (Bhava) muncul; dengan Menjadi (Bhava) sebagai kondisi, Kelahiran (Jāti) muncul; dengan Kelahiran (Jāti) sebagai kondisi, muncul penderitaan, usia tua, dan kematian.”
Buddha juga bersabda dalam Bhava Sutta (Saṃyutta Nikāya 12.66):
“Bhava adalah kondisi bagi kelahiran; dengan lenyapnya Bhava, lenyap pula kelahiran.”
Kesadaran atas Bhava-taṇhā dan Upādāna bukan berarti ‘menolak kehidupan,’ melainkan menyingkap niat tersembunyi di balik keinginan untuk melahirkan. Dengan melihatnya secara jernih, seseorang dapat bertindak dengan kewaskitaan, bukan sekadar mengikuti dorongan sosial atau naluriah. Maka, pilihan untuk tidak melahirkan anak bisa menjadi bentuk Naiṣkramya/Nekkhama—pelepasan terhadap keinginan untuk memperpanjang eksistensi diri—dan sekaligus Saṁvara, pengendalian diri dari kecenderungan untuk mencengkeram keberadaan.
Jika kita punya waktu untuk merenungkan ini, dan berani jujur pada diri sendiri, dari kejernihan batin akan lahir pertanyaan reflektif: bagaimana jika anak yang lahir ternyata tidak sesuai dengan impian kita? Bagaimana jika ia harus menghadapi penyakit kronis, disabilitas, atau mewarisi kesulitan genetik, cacat bawaan yang tak terhindarkan? Apabila penderitaan ini benar-benar terjadi, sayangnya sering kali kita berlindung di balik frasa dangkal: “itu takdirnya,” atau “itu sudah karma dia” seolah-olah menggeser beban moral dari diri kita sebagai sebab/pencipta kepada anak sebagai ciptaan (Sartre, Existentialism is a Humanism, 2007).
Kecenderungan manusia dalam kedangkalan pikirnya, tidak pernah menganggap melahirkan dan memelihara anak memiliki konsekwensi tanggung jawab spiritual, atau setidaknya sebagai tanggung jawab etis yang harus dijalankan dengan kesadaran penuh. Dalam Sigālovāda Sutta (Dīgha Nikāya 31), Buddha menasihatkan bahwa orang tua memiliki lima kewajiban terhadap anak-anaknya: “menahan mereka dari perbuatan jahat, mendorong mereka berbuat kebajikan, mendidik mereka agar memiliki keahlian, mencarikan pasangan hidup yang pantas, dan menyerahkan warisan pada waktu yang tepat.” Sebaliknya, anak-anak pun diajarkan untuk mendukung dan menghormati orang tuanya, menjaga nama baik keluarga, serta bertindak pantas terhadap warisan.
Lebih jauh lagi, Buddha memuliakan peran orang tua dengan menempatkannya setara dengan yang tertinggi. Dalam Mātāpitā Sutta (Aṅguttara Nikāya 2.33 dan 2.34), orang tua disebut sebagai “Brahmā” (yang menciptakan), “pūjācāriya” (guru pertama), dan “āhuneyya” (yang layak menerima persembahan). Gelar agung ini menunjukkan bahwa peran orangtua bukan sekadar tanggung jawab duniawi, melainkan sebuah tanggung jawab spiritualitas tertinggi yang dijalankan di ruang lingkup rumah tangga. Kesadaran akan bobot spiritual dari peran tersebut semakin memperkuat argumen childfree: jika seseorang tidak dapat memenuhi derajat spiritual setinggi itu, maka menahan diri adalah wujud kerendahan hati dan welas asih, demi melindungi makhluk baru dari potensi kegagalan dalam menanamkan benih kebajikan, yang justru menjerumuskan makhluk baru ke dalam penderitaan Saṃsāra.
Ajaran ini menegaskan bahwa hubungan orang tua dan anak dalam pandangan Buddha tidak didasarkan pada dorongan biologis atau adat, melainkan pada niat welas asih dan tanggung jawab timbal balik yang dilandasi kecerdasan spiritual. Dengan demikian, keputusan untuk tidak memiliki anak—bila didasari oleh kesadaran akan keterbatasan diri dalam memenuhi tanggung jawab tersebut—bukanlah penolakan terhadap kehidupan, melainkan bentuk penghormatan terhadap kehidupan itu sendiri. Dalam terang Dharma, yang penting bukanlah apakah seseorang memiliki anak atau tidak, melainkan apakah tindakannya selaras dengan welas asih dan bebas dari dorongan ego.
Kegagalan kita untuk mengakui penderitaan potensial yang diciptakan melalui keputusan kelahiran inilah yang membawa kita pada refleksi Anti-Natalisme. Mengadopsi kerangka etika Benatar—yang menekankan bahwa hanya kerugian dari eksistensi (seperti rasa sakit dan kematian) yang memiliki bobot moral—kita menyadari bahwa tidak ada keuntungan moral yang cukup besar untuk menjustifikasi penciptaan makhluk hidup baru, jika potensi penderitaan yang harus mereka tanggung itu dapat dihindari. Memilih untuk tidak punya anak, oleh karenanya, bukanlah tindakan putus asa, melainkan upāya (kecakapan welas asih) yang jernih dan bertanggung jawab penuh.
Bersambung ke bagian (2/2)
*Peneliti Institut Nagarjuna










