Bodhisattva adalah calon Buddha, yang rela berkorban demi kebahagiaan makhluk lain.
Indonesia memperingati Hari Pahlawan setiap 10 November 2025. Kepahlawanan adalah salah satu bentuk jiwa Bodhisattva atau Bodhisatwa.

Setiap 10 November, bangsa Indonesia mengenang jasa para pahlawan yang telah mengorbankan segalanya demi kemerdekaan. Namun peringatan ini seharusnya tidak berhenti pada nostalgia sejarah. Ia adalah ajakan untuk menimbang kembali arti kepahlawanan di tengah dunia yang berubah—ketika musuh tak lagi datang membawa senjata, tetapi hadir dalam bentuk disinformasi, ketidakpedulian, dan kerusakan moral yang lebih halus.

Dalam tradisi Buddhis, semangat kepahlawanan menemukan cerminnya dalam jalan Bodhisattva—sosok yang menunda pencapaian Nirvāṇa demi menolong semua makhluk dari penderitaan. Bodhisattva adalah pahlawan batin: ia berjuang bukan untuk menaklukkan musuh di luar, melainkan untuk menaklukkan kegelapan dalam diri sendiri dan masyarakat. Ia berperang melawan keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin—tiga racun yang menjadi akar dari penderitaan dunia.

Pahlawan dan Bodhisattva: Dua Jalan, Satu Spirit

Bagi bangsa Indonesia, pahlawan adalah simbol pengorbanan tanpa pamrih. Bagi umat Buddhis, Bodhisattva adalah lambang tekad welas asih yang tak terbatas. Keduanya dipersatukan oleh roh yang sama: keberanian untuk mengabdikan diri bagi kebahagiaan makhluk lain.

Kepahlawanan bukan hanya keberanian menghadapi bahaya, tetapi juga kesediaan untuk melakukan yang benar ketika kebanyakan orang memilih diam. Dalam konteks Buddhis, keberanian itu berarti berani melawan arus kebodohan batin, berani menegakkan kebenaran, dan berani menolak segala bentuk kebohongan yang menyesatkan kesadaran manusia.

Krisis Zaman Modern dan Musuh Baru Kemanusiaan

Zaman kita kini ditandai oleh perang yang tidak lagi bersifat fisik, melainkan perang asimetris—perang yang berlangsung di ranah informasi, persepsi, dan kesadaran. Di balik layar gawai, dunia sedang berperang untuk merebut kebenaran. Disinformasi, fitnah, dan kebohongan (DFK) menjadi senjata yang jauh lebih berbahaya daripada peluru, karena ia menyerang akar kesadaran manusia.

Dalam pandangan Buddhis, DFK adalah bentuk modern dari moha, kebodohan batin yang menutupi cahaya kebijaksanaan. Ia memecah masyarakat, menumbuhkan kebencian, dan memperlemah welas asih. Ketika manusia tidak lagi dapat membedakan yang benar dan salah, yang faktual dan yang manipulatif, maka penderitaan kolektif pun lahir.

Di tengah situasi ini, kepahlawanan sejati tidak lagi diukur dari siapa yang menang dalam konflik, tetapi dari siapa yang berani bersuara demi kebenaran tanpa menambah kebencian. Seorang Bodhisattva modern tidak tinggal diam ketika kebenaran diputarbalikkan. Ia berbicara dengan kejernihan dan kasih, menolak terlibat dalam kebohongan, dan menjaga agar ruang publik tetap menjadi ladang Dharma—tempat di mana kebijaksanaan dan welas asih dapat bertumbuh.

Panggilan Ekologis Demi Semua Makhluk

Selain perang informasi, musuh besar kemanusiaan hari ini adalah kerusakan lingkungan. Bumi menjerit di bawah beban keserakahan manusia. Sungai mengering, laut penuh sampah, hutan digunduli, dan udara tercemar. Semua ini adalah hasil dari hilangnya kesadaran akan keterhubungan kehidupan (pratītyasamutpāda).

Dalam pandangan Bodhisattva, penderitaan bumi adalah penderitaan semua makhluk. Menanam pohon, menjaga sumber air, mengurangi konsumsi berlebih, dan melindungi hewan adalah bentuk nyata dari praktik welas asih. Kepahlawanan hari ini bukan hanya soal melawan penjajahan manusia atas manusia, tetapi juga melawan penjajahan manusia atas alam.

Melestarikan lingkungan bukan isu sekuler, melainkan bagian dari jalan spiritual: melindungi kehidupan berarti menghormati Dharma. Di sinilah muncul bentuk baru dari pahlawan zaman ini—mereka yang berjuang diam-diam menjaga bumi agar tetap layak huni bagi generasi mendatang.

Menumbuhkan Semangat Bodhisattva

Jalan kepahlawanan Buddhis tidak ditempuh melalui perang, melainkan melalui latihan batin yang panjang dan penuh ketekunan. Seorang Bodhisattva belajar untuk memberi tanpa pamrih, menjaga kejujuran dan moralitas di tengah godaan duniawi, bersabar dalam menghadapi ketidakadilan, serta tidak berhenti menyalakan semangat kebajikan meski dunia tampak apatis.

Ia menjaga kejernihan batin agar tidak terperangkap dalam amarah dan kebencian, dan menajamkan kebijaksanaan agar dapat melihat keterhubungan semua kehidupan. Kepahlawanan semacam ini tidak membutuhkan pangkat, sorotan, atau penghargaan. Ia tumbuh dari kesadaran bahwa setiap tindakan kecil yang dilakukan dengan cinta kasih adalah bagian dari perjuangan besar untuk mengurangi penderitaan di dunia.

Dari Medan Perang ke Medan Dharma

Hari Pahlawan bukan sekadar peringatan sejarah, melainkan cermin bagi nurani kita. Para pahlawan bangsa telah membuka jalan bagi kemerdekaan lahiriah; tugas kita kini adalah memperjuangkan kemerdekaan batiniah—kebebasan dari kebohongan, keserakahan, dan ketakutan.

Zaman ini membutuhkan pahlawan yang tidak hanya kuat, tetapi juga jernih dan welas asih. Pahlawan yang tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam, kapan harus bertindak dan kapan harus berdoa. Pahlawan yang berani mencintai di tengah dunia yang makin apatis.

Seperti Avalokiteśvara yang mendengar jeritan dunia dan menanggapinya dengan welas asih, demikian pula kita dipanggil untuk mendengar jeritan zaman ini: jeritan manusia yang tersesat dalam disinformasi, jeritan alam yang dilukai, dan jeritan hati nurani yang ingin hidup dalam kebenaran.

Menjadi pahlawan di zaman digital bukan berarti memenangkan perang opini, tetapi memelihara kebijaksanaan dan integritas di tengah badai kebohongan.
Dan menjadi Bodhisattva di masa kini bukan berarti meninggalkan dunia, melainkan hadir di dunia dengan kesadaran penuh — berbuat baik, berbicara benar, dan menjaga kehidupan.

Kepahlawanan sejati tidak terletak pada kemegahan tindakan, melainkan pada ketulusan niat. Dan semangat Bodhisattva mengajarkan bahwa keberanian yang paling besar adalah keberanian untuk tetap welas asih di dunia yang kehilangan arah.@eddy setiawan

LEAVE A REPLY