Dalam hampir setiap doa atau puja bakti serta di akhir sesi meditasi umat Buddha, ada satu kalimat yang berulang: “Semoga semua makhluk berbahagia.” Ungkapan sederhana ini terdengar lembut, tetapi landasan filosofisnya sangat dalam. Ia lahir dari inti ajaran Buddha yang menggabungkan kesadaran akan dukkha (ketidakpuasan hidup) dan pemahaman tentang sunyata (kekosongan) serta paticca-samuppāda (saling ketergantungan) serta prinsip pikiran adalah pelopor, pemimpin, dan pembentuk.
Mari kita bahas secara ringkas satu persatu beberapa inti ajaran Buddha terkait ucapan Semoga Semua Makhluk Berbahagia tersebut.
1. Dukkha: Mengakui Kenyataan Ketidakpuasan
Ajaran Buddha dimulai dari pengamatan mendalam dan universal, dan kesimpulan Buddha adalah hidup penuh dengan ketidakpuasan akibat perubahan dan ketidakpastian yang tak terhindarkan atau disebut Dukkha. Namun perlu diingat, artinya tidak sama dengan kata serapannya dalam bahasa Indonesia yaitu duka.
Hidup ibarat menaiki kereta yang roda-rodanya tidak terpasang presisi pada porosnya. Setiap putaran membawa guncangan; naik-turun, oleng, terkadang mulus, mendadak terantuk. Ada momen senang, ada momen susah, dan keduanya silih berganti. Bahkan kebahagiaan yang kita rasa pun tidak bertahan lama—cepat atau lambat, ia berubah. Di ujungnya, semua makhluk menghadapi kematian, yang datangnya pun tidak mengenal usia. Dipastikan kita akan berpisah dari yang kita cintai, bisa besok, lusa atau beberapa puluh tahun lagi.
Penuaan, sakit, dan mati adalah kenyataan yang tak dapat dihindari. Siddhartha Gautama, bahkan sebagai seorang pangeran yang sengaja diisolir dalam kemewahan istana, akhirnya menyaksikan realitas ini. Ia melihat seorang tua, seorang sakit, jenazah, dan seorang pertapa berwajah damai. Dari situ ia menyimpulkan bahwa kehidupan sungguh tidak memuaskan dan bertekad mencari “obat” untuk mengatasi penderitaan semua makhluk. Ia pun meninggalkan semuanya demi cita-cita kebahagiaan semua makhluk ini.
Buddha merumuskannya dalam Empat Kebenaran Mulia:
Dukkha: Hidup mengandung ketidakpuasan.
Samudaya: Ketidakpuasan timbul dari keinginan dan keterikatan.
Nirodha: Ketidakpuasan dapat diakhiri.
Magga: Ada jalan menuju akhir ketidakpuasan—Jalan Mulia Berunsur Delapan.
Ketika seorang umat Buddha mendoakan kebahagiaan semua makhluk, itu berangkat dari kesadaran akan fakta ini: semua makhluk, tanpa kecuali, mengalami dukkha. Manusia, hewan, bahkan makhluk halus. Ini menumbuhkan sifat welas asih tanpa syarat. Dalam istilah kanoniknya juga disebut:
“Diṭṭhā vā ye ca adiṭṭhā, ye ca dūre vasanti avidūre, bhūtā vā sambhavesī vā, sabbe sattā bhavantu sukhitattā.”
“Yang tampak maupun tak tampak, yang dekat maupun jauh, yang telah lahir maupun yang akan lahir, semoga semua makhluk berbahagia.”
Karaniya Metta Sutta, Sutta Nipata 1.8
2. Sunyata dan Paticca-Samuppāda
Sering kali kata sunyata diterjemahkan sebagai “kekosongan,” tetapi bukan berarti nihilisme. Kekosongan di sini berarti ketiadaan esensi atau substansi yang kekal dan berdiri sendiri. Segala sesuatu ada karena saling bergantung—tidak ada yang eksis sendirian, terpisah dari sebab dan kondisi lain. “Aku–Kamu”, “Kita–Mereka”, sejatinya tidak bersifat biner, melainkan membentuk suatu kontinum yang saling bergantung. Keberadaan masing-masing pihak hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan pihak lain, sesuai prinsip interdependensi (Sansekerta: pratītyasamutpāda) dalam filsafat Buddhis. Semua fenomena muncul karena sebab dan kondisi. Jika sebab dan kondisi berubah, maka fenomena itu pun berubah.
Contohnya sederhana: setangkai bunga ada karena tanah yang subur, air, sinar matahari, benih, dan perawatan. Tanpa salah satu unsur ini, bunga itu tidak akan ada. Hal yang sama berlaku pada diri kita—tubuh, pikiran, bahkan identitas kita adalah hasil dari interaksi banyak faktor: orang tua, makanan, bahasa, budaya, pendidikan, dan tak terhitung kondisi lain. Tanpa jaringan ini, “aku” tidak akan terbentuk.
Jika kita memahami sunyata dan paticca-samuppāda, kita akan menyadari bahwa kebahagiaan kita tidak pernah berdiri sendiri. Ia terhubung dengan kebahagiaan orang lain dan seluruh ekosistem kehidupan. Kesadaran inilah yang melahirkan welas asih: karena kita saling terhubung, merugikan yang lain sama saja merugikan diri sendiri, dan menolong yang lain juga menolong diri sendiri. Jadi ketika kita mengucapkan hal yang baik untuk semua mahkluk itu juga berimbas pada diri kita, karena semua saling terkait dan bergantungan.
3. Doa sebagai Latihan Welas Asih dan Jiwa Bodhisattva
Lalu, bagaimana filosofi ini diterjemahkan menjadi praktik nyata? Di sinilah doa “Semoga semua makhluk berbahagia” berperan sebagai sebuah latihan batin untuk mengarahkan hati pada cinta kasih tanpa syarat (metta), tanpa diskriminasi, tanpa batas ruang dan waktu.
Melalui pengulangan doa ini, seorang praktisi melatih pikirannya untuk melampaui lingkaran sempit “aku dan keluargaku” menjadi kepedulian terhadap seluruh makhluk: yang dekat maupun jauh, yang dikenal maupun tidak, yang tampak maupun tak tampak, yang besar maupun kecil. Inilah upaya pengembangan jiwa Bodhisattva. Jika kita sungguh menginginkan kebahagiaan untuk diri sendiri, kita tidak bisa mengabaikan penderitaan makhluk lain.
Obyek Meditasi Metta Bhavana
Pemahaman filosofis ini tidak berhenti di kepala. Dalam Buddhisme, doa selalu diiringi usaha nyata. Mendoakan kebahagiaan semua makhluk berarti juga berusaha menjadi penyebab kebahagiaan itu—melalui ucapan yang benar, tindakan yang penuh kasih, dan pikiran yang jernih.
Buddha mengajarkan teknik meditasi mettā-bhāvanā (meditasi cinta kasih) sebagai cara untuk menginternalisasi doa ini. Dalam meditasi tersebut, kita mulai dengan mendoakan kebahagiaan untuk diri sendiri, lalu meluas ke orang terdekat, kenalan, orang yang netral, bahkan mereka yang kita anggap “lawan,” hingga akhirnya mencakup seluruh makhluk di segala penjuru. Dianjurkan untuk obyek yang dibenci, dilatih belakangan. Oleh karena itu, dimulai dari memancarkan cinta kasih kepada obyek yang paling mudah yaitu diri sendiri, lalu keluarga dan seterusnya.
Doa “Semoga semua makhluk berbahagia” menjadi kompas moral. Ia menuntun kita untuk tidak sekadar berpikir “apa untungnya untuk saya,” tetapi “apa manfaatnya bagi semua.”
Hukum Karma
Dalam Dhammapada, Yamakavaga (syair berpasangan), Buddha menyatakan pada syair 1 bahwa karma memiliki 3 saluran yaitu pikiran, ucapan dan tindakan. Maka jika dalam berucap dan bertindak dilandasi pikiran buruk, maka penderitaan akan mengikutinya. Bagaikan roda kereta mengikuti langkah kaki lembu penariknya.
Sebaliknya pada syair 2 ditegaskan bahwa bila seseorang berbicara dan bertindak dengan pikiran baik, maka kebahagiaan akan mengikutinya. Bagaikan bayangan yang tak pernah meninggalkan bendanya.
Jika kita baca kitab komentar atau penjelasan Dhammapada (Dhammpada Atthakata). Kedua syair ini diucapkan Buddha pada kesempatan yang berbeda di Savathi, India klasik.
Syair pertama terkait kasus Cakkhupala Thera. Seorang bhiksu yang memiliki gangguan pada matanya dan akhirnya buta. Namun ia sangat disiplin dan tekun melatih meditasi. Ternyata pada kehidupan lampaunya, ia telah menyebabkan makhluk lain menderita akibat pikirannya yang penuh kebencian. Buddha menyampaikan syair pertama dalam kesempatan tersebut.
Sementara untuk syair kedua, disampaikan Buddha ketika berceramah terkait Mahakala. Seorang umat awam yang sangat kaya raya dan demikian berdedikasi pada Tri Ratna. Buddha menjelaskan syair kedua, bahwa semua ucapan dan perbuatan yang dilandasi pikiran baik akan mendatangkan kebahagiaan. Mungkin ungkapan populer “Buah karma nggak akan tertukar” juga mengacu ke bagian akhir dari syair ini, yaitu bagai bayangan yang tak akan meninggalkan bendanya.
Begitu sentralnya pikiran, ucapan, dan perbuatan ini terlihat dari posisinya yang diletakkan Buddha diantara empat teratas jalan mulia berunsur delapan, setelah Pandangan Benar di nomor 1.
Oleh karena itu, ucapan Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitatta atau Berbahagialah Semua Makhluk. Bukan sekadar formalitas, ia cerminan pandangan dunia yang mengakar kuat dalam filsafat Buddhis, dan berfungsi sebagai latihan batin untuk mengembangkan welas asih tanpa batas. Alat untuk melatih pikiran manusia agar senantiasa penuh kewelasasihan tanpa syarat bagi semua. Pada saat yang sama juga berbuat karma baik melalui pikiran dan ucapan.
Mengatasi Keterasingan Menuju Kebahagiaan Universal
Doa “Semoga semua makhluk berbahagia” adalah praktik sehari-hari yang menggerakkan umat Buddha. Ia buka sebuah permohonan pada makhluk adi kodrati. Melainkan sebuah ikrar batin untuk menjadi bagian dari sebab kebahagiaan dunia.
Ketika doa itu diucapkan, ia adalah pengakuan atas sunyata dan paticca-samuppada—bahwa tidak ada satu pun dari kita yang berdiri sendiri. Ia adalah penolakan terhadap alienasi dan penegasan bahwa setiap makhluk, tanpa kecuali, layak mendapatkan kedamaian. Seolah mengingatkan kita semua, “Seandainya pun kamu merasa sendirian di dunia yang keras ini, ketahuilah bahwa ada jutaan hati yang mendoakan agar kamu berbahagia.”@Eddy Setiawan.











