Nalanda adalah universitas residensial pertama di dunia, yang berkembang pesat selama hampir 700 tahun di India kuno. Warisan akademis global dan pendekatan multidisipliner Nalanda terus menginspirasi dunia pendidikan modern.
Di jantung Bihar kuno, tempat di mana reruntuhan bata merah kini terbaring terpapar terik matahari, pernah berdiri sebuah kota gagasan bernama Nalanda. Jauh sebelum menara-menara Oxford menjulang di langit Inggris atau Harvard bahkan belum terbayangkan, India telah membangun universitas residensial pertama di dunia—tempat 10.000 mahasiswa dan 2.000 guru memperdebatkan segala hal, mulai dari astronomi hingga tata bahasa, di bawah naungan pohon Bodhi.
Nalanda bukan hanya sebuah biara Buddha. Ia adalah universitas multidisipliner, pusat lahirnya pembelajaran global, dan simbol masa keemasan intelektual India.
Dunia yang Melampaui Kemajuan Jamannya
Didirikan pada abad ke-5 Masehi oleh Kumaragupta I dari Dinasti Gupta, Nalanda berkembang pesat di bawah perlindungan kerajaan selama hampir 700 tahun. Universitas ini menarik cendekiawan dari seluruh Asia—Tiongkok, Tibet, Korea, Indonesia, dan Sri Lanka—menjadikannya universitas internasional pertama dalam sejarah.
Para (bhiksu) pengelana Tiongkok, Xuanzang dan Yijing, yang belajar di sana pada abad ke-7, meninggalkan catatan terperinci tentang skala dan kedalaman ilmu di Nalanda. Menurut catatan mereka, kampus Nalanda terdiri atas delapan kompleks luas, 427 aula, 72 ruang kuliah, dan tiga perpustakaan besar—Ratnasagara, Ratnodadhi, dan Ratnaranjaka—yang naskah-naskahnya “berkilau seperti permata.”
“Para mahasiswa datang dari negeri-negeri jauh untuk mempelajari logika, metafisika, kedokteran, dan bahasa,” tulis Yijing dalam A Record of the Buddhist Religion (671 M).
Mata Pelajaran di Universitas Nalanda Kuno
Yang menjadikan Nalanda revolusioner adalah kurikulumnya. Universitas ini menawarkan 64 bidang ilmu—jauh melampaui teologi semata.
Xuanzang mencatat bahwa para mahasiswa dapat mengambil spesialisasi dalam:
- Tata Bahasa dan Linguistik (Vyakarana)
- Logika (Hetuvidya)
- Pengobatan (Ayurveda)
- Matematika (Ganita)
- Astronomi dan Astrologi (Jyotish)
- Metafisika dan Filsafat (Madhyamaka, Yogachara)
- Ilmu Politik dan Ekonomi (Arthashastra)
- Seni Rupa, Patung, dan Arsitektur
Perpaduan antara filsafat dan sains mencerminkan keyakinan kuno India bahwa ilmu pengetahuan saling terhubung—bahwa logika dan bahasa, pengobatan dan etika, semuanya merupakan bagian dari pencarian intelektual yang utuh.
Belajar Melampaui Teks
Pembelajaran di Nalanda bukanlah hafalan belaka. Ia dibangun di atas dialog dan perdebatan.
Mahasiswa didorong untuk menantang para pengajar di halaman terbuka dan mempertahankan gagasan mereka dalam diskusi lisan yang ketat. Bahkan seleksi masuknya pun sangat sulit—Xuanzang menyebutkan bahwa calon mahasiswa diuji oleh penjaga gerbang, yang disebut Dwarapalikas, yang menguji pengetahuan mereka sebelum mengizinkan masuk. Hanya satu dari lima pelamar yang diterima.
Sistem berbasis merit ini, yang tercatat dalam teks Dinasti Tang yang diterjemahkan oleh Samuel Beal (1884), menunjukkan betapa Nalanda menghargai ketajaman intelektual, di atas garis keturunan atau kekayaan.
Didanai Penguasa, Dijalankan Para Bhiksu Cendikia
Berbeda dengan universitas modern yang bergantung pada biaya kuliah, Nalanda didanai negara. Raja-raja dari Dinasti Gupta, Harsha, dan kemudian Dinasti Pala memberikan hibah tanah dan dana untuk membiayai para cendekiawan. Kampusnya mencakup asrama, ruang kuliah, kuil, danau, dan taman meditasi—semuanya dikelola oleh administrasi terorganisir yang terdiri atas para bhiksu dan pekerja awam.
Catatan Arkeologi Survei India (ASI) menunjukkan bahwa sumbangan juga datang dari penguasa asing—bukti reputasi internasional Nalanda.
Hub Akademik Global
Xuanzang dan Yijing hanyalah dua dari ratusan cendekiawan asing yang belajar atau mengajar di sini. Nalanda menjadi pusat utama filsafat Buddha dan pemikiran Mahayana, yang memengaruhi model pendidikan di Tibet, Tiongkok, dan Asia Tenggara.
Ketika Nalanda dibakar pada abad ke-12 oleh para penjajah, beberapa bhiksu berhasil menyelamatkan naskah-naskah berharga ke Tibet. Teks-teks tersebut kemudian membentuk Buddhisme Tibet dan kurikulum biara-biara seperti Samye dan Tashilhunpo.
Berabad-abad kemudian, fragmen naskah tersebut ditemukan kembali di Lhasa dan gua-gua Dunhuang, membuktikan warisan akademik Nalanda yang memiliki jangkauan sangat luas.
Api yang Membakar Berbulan-Bulan
Kisah Nalanda berakhir tragis sekitar tahun 1193 M, ketika pasukan Bakhtiyar Khilji menyerangnya. Catatan sejarah menyebutkan bahwa perpustakaan besar, Dharmaganja, terbakar selama berbulan-bulan—ada yang mengatakan enam bulan—karena begitu banyaknya naskah yang tersimpan di dalamnya. Dalam kobaran api itu, seluruh pengetahuan suatau peradaban musnah menjadi asap.
“Nyala api perpustakaan Nalanda menyala cukup lama untuk meredupkan cahaya pembelajaran India selama berabad-abad,” tulis sejarawan John Keay dalam India: A History (2000).
Apa yang Selamat?
Meski kehilangan besar terjadi, semangat Nalanda tetap bertahan. Tradisi Nalanda tetap hidup melalui para cendekiawannya—Dharmapala, Shilabhadra, dan Atisha Dipankara—yang menyebarkan ajarannya ke Tibet dan wilayah lainnya.
Arkeologi modern, yang dipelopori Alexander Cunningham pada abad ke-19, berhasil menemukan kembali reruntuhan Nalanda berdasarkan catatan perjalanan Xuanzang. Pada tahun 2016, UNESCO menetapkan Nalanda sebagai Situs Warisan Dunia, mengakui tempat ini sebagai “simbol pertukaran pengetahuan global kuno.”
Nalanda 2.0
Dalam putaran sejarah yang penuh makna, Universitas Nalanda dibangkitkan kembali pada tahun 2014 di dekat reruntuhan aslinya, dengan dukungan dari 17 negara, termasuk Jepang, Tiongkok, Singapura, dan Australia. Desain kampus barunya mencerminkan mandala, melambangkan pencarian kosmis terhadap ilmu pengetahuan—sebuah penghormatan terhadap masa lalu, yang dibayangkan ulang untuk masa depan.
Lebih dari seribu tahun lalu, ketika sebagian besar pusat pengetahuan dunia belum terbayangkan, Nalanda telah membangun cetak biru pendidikan tinggi—yang merayakan logika, rasa ingin tahu, dan keingintahuan tak terbatas pikiran umat manusia.
Diterjemahkan dari: Mega Chaturvedi, What was taught at Nalanda? the 64 subject of India’s ancient university, India Today.











