Agama Buddha dan Jalan Pembebasan
Agama Buddha dan Jalan Pembebasan. Buddhisme adalah non dualitas.

Agama Buddha kerap dipahami sebagai jalan pembebasan bagi individu dari ketidakpastian atau dunia yang penuh turbulensi (dukkha). Ibarat roda kereta yang tidak terpasang pada porosnya, demikianlah realitas hidup yang harus kita hadapi. Namun jika hanya berfokus hanya pada individu, tentu hal tersebut mengabaikan konsep non dualitas dan pattica samupada yang diajarkan Buddha. Bahwa semua fenomena fisik maupun mental, tidak ada yang berdiri sendiri (independen), semuanya interdependen (saling ketergantungan).

Nagarjuna menjelaskannya melalu non dualitas, atau jalan tengah (madhyamaka) yakni jalan tengah yang melampaui dua ekstrem. Dalam konteks ini, interdependen melampaui dependen dan independen. Dalam konteks Indonesia, Pancasila juga disebut jalan tengah. Bukan karena berada tepat di tengah, tapi karena melampui spektrum ideologi kiri maupun kanan. Bukan relasi yang saling meniadakan, tapi saling memberdayakan.

Oleh karena itu, ajaran Buddha memiliki relevansi mendalam bagi transformasi sosial-politik. Tranformasi sosial yang dilakukan orang-orang yang dengan sadar melakukan transformasi diri secara berkesinambungan. Tentu berbeda dengan transformasi sosial oleh kelompok yang tidak memiliki kesadaran demikian.

Pembebasan Dari Apa?

Dalam ajaran Buddha, semua makhluk terjebak di alam samsara akibat tiga akar kejahatan. Disebut dalam bahasa Sansekerta sebagai akusala-mula, terdiri dari keserakahan (lobha), penolakan atau kebencian (dosa), dan delusi atau kedunguan (moha). Inilah struktur internal yang menjerat manusia sehingga terjebak dalam kelahiran berulang di alam samsara. Ajaran Buddha adalah pisau pemotong, jalan pembebasan sejati untuk melepaskan diri dari ketiganya. Hal yang akan dicapai ketika merealisasi penggugahan sempurna (menjadi Buddha).

Namun, yang kerap dilupakan adalah bahwa transformasi individu tidak terjadi di ruang hampa. Setiap individu lahir di ruang etis, sosiologis, politis, kultural dan berbagai aspek kehidupan yang berbeda-beda. Dimana keseluruhan hal tersebut menjadi bagian dari dirinya. Sejalan dengan pattica-samupada (dependent origination), tidak ada fenomena yang berdiri sendiri. Seorang individu beragama Buddha tidak bisa dilepaskan dari identitas etnis dan politisnya. Ia orang Jawa berkewarganegaraan Indonesia, ia orang Tionghoa berkewarganegaraan Indonesia.

Antara Agama dan Kewarganegaraan

Agama dan kewarganegaraan, etnis dan kewarganegaraan contohnya, dalam  agama Buddha bukanlah relasi saling meniadakan. Tidak ada ketegangan hubungan antara agama dan kewarganegaraan. Keduanya dipandang sebagai keutuhan atau non dualitas, dua sisi dari sekeping mata uang. Seorang umat Buddha dalam waktu bersamaan adalah seorang patriot sejati Indonesia. Maka tak heran jika banyak altar di berbagai vihara juga memasang bendera merah putih. Partisipasi sebagai warga negara, adalah bentuk praktik dharma bagi umat Buddha. Memilih ataupun dipilih dalam kontestasi elektoral misalnya, juga bagian dari praktik dharma seorang umat Buddha.

Jika sebagai individu kita punya tugas, membebaskan diri dari keserakahan, penolakan, dan kedunguan atau delusi. Sebagai warga negara kita juga punya dharma untuk membebaskan struktur sosial, politik, dan negara dari ketiga akar tersebut. Dengan kata lain, transformasi diri sejati tidak terpisahkan dengan transformasi sosial.

Tokoh-tokoh Buddhis modern memberikan ilustrasi nyata dari prinsip ini. Bhikkhu Buddhadasa menekankan pentingnya kembali pada ajaran Dharma yang sederhana dan universal. Agar manusia mampu menundukkan keserakahan, kemarahan, dan kebodohan dalam diri mereka. Sementara Sulak Sivaraksa, dengan gerakan Socially Engaged Buddhism. Menunjukkan bahwa pembebasan spiritual yang hanya individual akan kehilangan maknanya jika masyarakat tetap tertindas secara struktur atau rusak secara sosial, politik, hingga lingkungan.

Sekilas Praktik Santi Asoke

Praktiknya yang lebih jauh penulis pernah saksikan pada komunitas Santi Asoke. Salah seorang penulis bahkan menggunakan istilah dharmik sosialis pada bukunya untuk merujuk komunitas ini.  Komunitas yang dibangun oleh orang dari beragam latar belakang ini. Menerapkan prinsip-prinsip Agama Buddha dalam kehidupan kolektif, membangun masyarakat mandiri yang bebas dari keserakahan dan ketidakadilan. Mereka bekerja bukan untuk uang, karena setiap anggotanya tidak memegang uang. Mereka bekerja sesuai minat dan keahliannya. Minimarket mereka memasang dua harga, yaitu harga perolehan dan harga jual. Jadi kita bisa menghitung berapa labanya.

Namun jangan remehkan penghasilannya sebagai komunitas, mereka sudah membangun beberapa SPBU dan restoran vegetarian di berbagai wilayah Thailand. Untuk rumah, mereka tinggal bersama di sebuah wilayah dimana mereka bertani, bertempat tinggal dengan rumah sangat sederhana dari kayu, dan tidak memiliki kemewahan pribadi seperti tv, sepeda motor dan sebagainya. Semua barang itu ada, tapi milik bersama dan dirawat bersama. Untuk sekolah, disediakan sekolah gratis di lingkungan mereka. Sangat menarik.

Interaksi Ajaran Buddha dan Dimensi Sosial Politik

Fenomena serupa dapat ditemui di Laos, Tiongkok, dan Vietnam, di mana ajaran Buddhis berinteraksi dengan kebutuhan pembangunan sosial dan keadilan politik. Di sana, praktik Buddhis tidak hanya fokus pada meditasi atau ritual, tetapi juga pada pendidikan, kesehatan masyarakat, dan kesejahteraan umum. Ini menegaskan bahwa transformasi individu selalu terjadi dalam konteks sosial-politik yang nyata, sesuai logika pattica-samupada: ketidakadilan sosial mempengaruhi penderitaan batin individu, sementara pembebasan batin memberi energi untuk perubahan sosial.

Dengan demikian, Jalan Pembebasan dalam Buddhisme bukan sekadar pembebasan dari penderitaan pribadi, tetapi juga dari corak sosial-politik yang terjerat lobha, dosa, dan moha. Transformasi diri dan transformasi masyarakat saling menguatkan: kesadaran batin memicu tindakan sosial yang etis, dan perbaikan sosial-politik memberi ruang bagi individu untuk berkembang secara spiritual. Jalan ini menegaskan bahwa pembebasan sejati adalah proses holistik, yang melibatkan hati, pikiran, dan struktur masyarakat sekaligus.@Eddy Setiawan.

LEAVE A REPLY