Museum Metropolitan New York Kembalikan Lukisan Raja Neraka Kesepuluh ke Vihara Sinheungsa Korea Selatan
Lukisan Raja Neraka Kesepuluh telah dikembalikan Met Museum New York ke Vihara Sinheungsa Kore

Pada pertengahan November 2025, dunia seni Buddhis kembali mendapat kabar penting dari Museum Metropolitan. Museum yang berlokasi di New York ini, atau biasa disingkat Met. Secara resmi mengembalikan sebuah lukisan Buddhis abad ke-18. Lukisan kuno itu diserahkan kembali kepada Vihara Sinheungsa di Sokcho, Korea Selatan. Lukisan berjudul “Raja Neraka Kesepuluh” ini diyakini diambil dari vihara tersebut pada masa Perang Korea. Pada masa kawasan itu berada di bawah kontrol militer Amerika Serikat.

Lukisan berusia 227 tahun itu merupakan bagian dari satu set sepuluh gulungan (ten kings painting set). Lukisan tersebut memvisualisasikan para Raja Neraka dalam kosmologi Buddhis Asia Timur. Pihak Museum Met membelinya pada 2007 dari seorang kolektor di Los Angeles melalui pedagang seni Michael C. Hughes. Namun saat itu asal-usulnya belum jelas. Hingga investigasi beberapa tahun terakhir berhasil mengungkap bahwa karya ini berasal dari Sinheungsa.

Max Mollen, direktor Met menyatakan dalam rilis resminya bahwa pihak museum merasa terhormat dapat berpatner dengan komite dari Vihara Sinheungsa dalam upaya pengembalian lukisan “Raja Neraka Kesepuluh”.

Jejak yang Tersisa dari Perang

Selama Perang Korea, banyak kuil dan situs budaya mengalami kerusakan, dievakuasi, atau dijadikan markas militer. Foto-foto arsip tahun 1954 menunjukkan bahwa lukisan-lukisan di Sinheungsa masih tergantung rapi setelah perang berakhir. Namun beberapa bulan kemudian, foto lain memperlihatkan bahwa gulungan tersebut sudah hilang. Seperti banyak kasus lain, benda-benda ini tampaknya “dibawa pulang” oleh tentara. Bukan sebagai rampasan resmi, tetapi sebagai barang yang dianggap ditinggalkan.

Dr. Sunglim Kim, seorang pakar seni dan sejarah Korea dari Dartmouth College. Menyatakan bahwa pada masa perang, vihara, situs budaya hingga rumah pribadi kerap menjadi dirusak hingga diambil alih pihak militer. Menekankan bahwa konteks seperti ini tidak untuk menyalahkan individu tertentu. Akan tetapi untuk menunjukkan kategori kerugian budaya yang khas pada masa konflik.

Makna Kosmologis: Raja Neraka Kesepuluh

Dalam tradisi Buddhis Asia Timur, Sepuluh Raja Neraka (十殿閻王) adalah hakim-hakim akhirat yang menentukan nasib arwah setelah kematian. Raja Kesepuluh, yang digambarkan dalam lukisan ini, berperan dalam proses reinkarnasi dan penentuan kelahiran kembali. Ia yang menentukan reinkarnasi seseorang, setelah pengadilan dari 9 raja lainnya.

Gulungan ini bertanggal 1798, berdasarkan inskripsi menggunakan huruf mandarin yang digunakan di masa Korea klasik: “Raja Agung Kesepuluh dari Lima Jalan dan Hukum Benar, di neraka paling gelap, dilukis pada tahun muo.”

Ikonografinya padat: sang raja duduk megah di pusat komposisi, dikelilingi para pengikut, sementara pada bagian bawah tampak jiwa-jiwa yang sedang menerima konsekuensi karmanya.

Gelombang Baru Upaya Repatriasi

Pengembalian ini merupakan bagian dari upaya besar Met sejak 2023 untuk menelusuri ulang asal-usul koleksi mereka. Terutama benda-benda yang berpotensi bermasalah. Pada 2024, museum bahkan menunjuk Lucian Simmons, mantan eksekutif Sotheby’s, sebagai kepala riset provenance. Sementara

Dari sepuluh gulungan lukisan milik Vihara Sinheungsa, tujuh kini telah kembali ke Korea Selatan. Enam dikembalikan oleh Los Angeles County Museum of Art pada 2020. Dan kini satu lagi oleh Met. Tiga gulungan lainnya masih belum diketahui keberadaannya.

Dr. Jinyoung Jin, penulis Art, War, and Exile in Modern Korea, menyebut pengembalian ini penting. Karena mengingatkan dunia tentang betapa rentannya warisan budaya dalam situasi perang dan pendudukan. Upaya repatriasi seperti ini menurutnya sangat penting karena “mendorong institusi-institusi untuk menerima dan mempertanggungjawabkan sejarah yang lebih dalam tentang perang, pendudukan, dan pengungsian. Hal yang hingga kini masih membentuk cara seni Korea dipahami dan dirawat.@esa

Sumber: The New York Times

LEAVE A REPLY