
Mungkin Anda juga termasuk salah satu yang ikut menyimak video-video viral dari Amerika: para bhikkhu berjubah coklat kombinasi merah marun,dan coklat polos. Berjalan perlahan di pinggir jalan raya. Beberapa tanpa alas kaki, ditemani seekor anjing bernama Aloka. Jika ya, barangkali Anda merasakan hal yang sama seperti jutaan orang lainnya—sebuah kehangatan yang sulit dijelaskan, seolah ada sesuatu yang lembut menyentuh hati di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern. Winter is coming, tapi Thudong 19 bhikkhu ini hangatkan Amerika.
Di tengah kecepatan dunia modern, terkadang cara paling kuat untuk menyampaikan pesan kedamaian justru adalah langkah sederhana: berjalan bersama, tanpa pamrih. Itulah yang dilakukan oleh 19 bhikkhu dari Huong Dao Vipassana Bhavana Center di Fort Worth, Texas, yang memulai sebuah perjalanan spiritual besar: Peace Walk sejauh 2.300 mil menuju Washington, D.C. Mereka terdiri dari bhikkhu dari berbagai negara, seperti Laos, Vietnam, Burma dan Thailand. Diantara pada bhikkhu yang tertua berusia 70 tahun.
Buddhistdoor Global melaporkan bahwa perjalanan ini bukanlah protes. Tidak ada tuntutan politik. Tidak ada slogan. Hanya sebuah tekad untuk menyebarkan “pesan penyembuhan nasional, persatuan, dan kasih sayang.” Hanya langkah-langkah sederhana setiap hari, mengingatkan dunia bahwa kedamaian masih bisa diperjuangkan melalui hal yang paling sunyi: berjalan dalam hening dan kesadaran penuh.
Bhikkhu Pannakara, pemimpin spiritual rombongan, mengatakan bahwa perdamaian bukan sekadar tujuan, melainkan perjalanan batin: “Kami berjalan untuk membangkitkan damai yang sudah ada dalam hati setiap kita. Apa yang kami lakukan sepanjang perjalanan adalah melangkah dengan kesadaran penuh”. Harapannya, setiap warga negara Amerika selalu ingat untuk membawa perdamaian, penyembuhan, dan persatuan.
Tradisi Kuno yang Menyapa Dunia Modern
Meski viralnya di TikTok terasa sangat kekinian, perjalanan ini sebenarnya berakar dari tradisi yang sangat kuno. Para bhikkhu menjalankan disiplin pertapaan yang dalam Agama Buddha dikenal sebagai praktik Dhutangga. Masyarakat Indonesia sudah mengenalnya sebagai Thudong. Istilah Thailand untuk praktik ini, yang pernah dilakukan dari Thailand hingga Borobudur beberapa tahun lalu. Praktik pengembara spiritual, hidup sederhana, tidur di alam, dan berjalan ribuan langkah setiap hari untuk menjernihkan batin dan mendekatkan diri pada welas asih.
Dalam disiplin tersebut, mereka: makan hanya sekali sehari, sebagai latihan pengendalian diri, tidur di bawah pohon tanpa tenda, meski cuaca mulai memasuki musim dingin, dan berjalan sekitar 20 mil per hari melewati kota, desa, dan ruang-ruang publik tempat orang bisa bertemu mereka secara langsung.
Rombongan ini berangkat pada 26 Oktober 2025, menyusuri 10 negara bagian, berhenti di ibu kota negara bagian, lokasi bersejarah, dan komunitas-komunitas lokal yang ingin berbagi atau sekadar menyambut. Jika semua berjalan sesuai rencana, mereka akan memasuki Washington, D.C. dan tiba di dekat Gedung Capitol pada 13 Februari 2026, setelah perjalanan yang ditargetkan sekira 108 hari.
Aloka, Sahabat Kecil yang Menguatkan Perjalanan Besar
Di antara para bhikkhu itu, ada satu anggota kecil yang tampaknya paling banyak disorot: seekor anjing bernama Aloka. Menurut komentar netizen Amerika, Aloka adalah anjing adopsi dari Texas yang kemudian ikut dalam perjalanan damai ini dari awal. Sosoknya yang setia, berjalan di samping para bhikkhu, membuat banyak orang tersentuh.
Ada warganet yang menawarkan untuk mengirimkan sepatu karet untuk melindungi tapak kaki-nya, tetapi tampaknya Aloka tidak terbiasa memakai alas kaki, sehingga hingga kini ia tetap berjalan dengan caranya sendiri. Sementara itu banyak warga lokal menyiapkan air, makanan, bahkan selimut khusus anjing di titik-titik persinggahan.
Di tengah langkah panjang para bhikkhu, kehadiran Aloka seperti simbol kecil dari persahabatan tanpa syarat—dan entah bagaimana, membuat Peace Walk ini terasa semakin “manusiawi”.
Ketika Media Sosial Menjadi Ruang Kebaikan
Yang paling mengejutkan adalah bagaimana masyarakat Amerika merespons perjalanan ini. TikTok dipenuhi komentar positif. Sesuatu yang cukup langka mengingat suasana media sosial yang sering penuh konflik, amarah, dan makian. Banyak yang menulis bahwa mereka terharu hingga menangis ketika melihat bhikkhu berjalan dengan damai. Atau saat mereka sedang menerima sebotol air. Ada yang menyatakan mengikuti rute perjalanan mereka setiap hari melalui medsos. Selain itu ada juga yang memperingatkan agar warga yang daerahnya dilewati menyiapkan air mineral, makanan, atau baju hangat karena cuaca semakin dingin.
Di beberapa video, tampak keluarga-keluarga Amerika berdiri di pinggir jalan menunggu rombongan. Anak-anak menyerahkan buah atau roti sambil tersenyum ceria dan bercakap-cakap dengan para bhikkhu. Ketika para bhikkhu membacakan paritta sebagai ucapan terima kasih, banyak yang merasa mendapatkan momen ketenangan yang tidak mereka rasakan selama bertahun-tahun. Beberapa juga tampak bahagia menerima gelang dari para bhikkhu.
Bahkan muncul ide dari salah seorang warganet: menjelang Washington D.C., warga diajak ikut berjalan bersama para bhikkhu, sehingga ketika mereka tiba di Capitol, rombongan itu telah disertai orang-orang dari berbagai kota. Apakah ajakan ini akan terwujud atau tidak, belum ada yang tahu. Tetapi gagasan tersebut menunjukkan sejauh mana Peace Walk ini telah menggerakkan hati publik.
Perdamaian yang Dimulai dari Dalam
Dalam sebuah wawancara, Bhikkhu Pannakara memberikan pesan yang menjadi pegangan banyak pengikut gerakan ini, bahwa siapa pun sebenarnya bisa ikut Peace Walk, secara batin. “Setiap bangun pagi, hal pertama yang harus kamu lakukan adalah mengambil selembar kertas dan pena, lalu tulislah: This is going to be my peaceful day lalu jalani harimu dengan kesadaran penuh. Apun yang kamu lakukan, satu tugas dalam satu waktu, lakukan dengan sadar penuh. Jika ada waktu, latihlah metode pernafasan, amati keluar masuknya nafas. Dengan begitu, kamu akan punya kedamaianmu sendiri”. Himbaunya.
Ini adalah latihan mindfulness sederhana, atau dalam bahasa Jawa kita mengenalnya sebagai eling lan waspodo—menyadari dan mengawasi.
“Semua berawal di pikiran. Jika ada orang lain yang bertindak buruk terhadapmu, itu adalah tanggung jawab mereka. Sadari itu, dan lepaskan. Tidak perlu merespon dengan sama buruknya. Apa yang menjadi tanggung jawab kita adalah bagaimana kita merespon. Dengan demikian, hari anda akan damai, dan dari situ, kedamaian dapat merambat ke keluarga, ke komunitas, ke kota, hingga ke seluruh negeri”. Pesan Pannakara.
Sebuah Langkah untuk Semua Orang
Yang membuat perjalanan ini begitu istimewa bukanlah jaraknya yang luar biasa panjang, atau viralnya di media sosial. Akan tetapi kesederhanaannya. Sebuah pengingat bahwa perubahan besar sering dimulai dari langkah kecil yang diambil dengan penuh niat baik.
Ketika dunia terasa gaduh, para bhikkhu ini memilih hening.
Ketika banyak hal bergerak cepat, mereka memilih berjalan perlahan.
Ketika berita riuh oleh permusuhan, mereka memilih membawa pesan persatuan.
Dan siapa sangka, dari langkah-langkah yang sederhana itu, lahir sebuah gelombang ketenangan yang kini dirasakan oleh banyak warga Amerika. Mungkin itulah kekuatan dari Peace Walk ini: mengingatkan kita bahwa kedamaian tidak harus menunggu dunia berubah. Terkadang ia hanya menunggu satu langkah—atau satu kalimat pagi—untuk kembali muncul dari dalam diri kita sendiri. This is going to be my peaceful day! @Eddy Setiawan










